Belajar dari Anies Baswedan tentang Indonesia Mengajar
Saya telah menonton puluhan video Anies
Baswedan melalui Youtube. Oleh karena itu, sejatinya tidak banyak hal
baru yang bisa diperoleh saat menyimaknya langsung di Grha Sabha Pramana
(GSP), UGM beberapa hari lalu. Meski begitu saya tak kalah terpana
dibandingkan menyimak puluhan videonya. Meski telah lama mengikuti
pemikirannya, saya memang baru pertama kali menyaksikan Anies Baswedan
tampil langsung memberi inspirasi.
Seorang anak muda yang duduk di sebelah
saya bertanya apa yang membuat saya datang ke acara Road Show Indonesia
Mengajar (IM) di Jogja. Saya paham maksudnya karena 90% lebih dari
ribuan pengunjung adalah anak muda duapuluhan tahun. Saya memang datang
ke GSP sore itu bukan untuk mendapatkan informasi bagaimana caranya
menjadi pengajar muda karena usia saya sudah kadaluarsa. Kedatangan saya
adalah untuk belajar, menyimak gagasan besar dan menuai inspirasi dari
orang-orah hebat. Dari Anies Baswedan tentu yang utama.
Saya tidak akan menceritakan apa itu IM
karena sudah sangat banyak ulasan mengenai ini. Saya lebih tertarik
menyimak gaya Anies Baswedan saat memukau ribuan orang itu. Anies adalah
seorang pencerita. Dia sangat lihai mengemas ide besar dan seriusnya
dalam bentuk pecahan cerita yang menggugah. Anies memulai ceritanya
bahwa inspirasi IM datang dari UGM yang telah lebih dulu melakukan
program serupa dengan nama Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Lepas dari
kenyataan bahwa cerita ini memang benar, Anies benar-benar tahu cara
membuat audiensnya yang dominan orang UGM merasa ‘terlibat’ dan
‘terhormat’.
Anies mengisahkan PTM yang diawali tahun
1952 itu melibatkan nama-nama yang kemudian dikenal besar dan hebat
seperti Prof. Koesnadi Hardjasoemantri (mantan rektor UGM). Pak Koes
ketika itu dikirim ke Kupang dan menjadi guru di tempat terpencil. Tidak
hanya berhenti di situ, beliau berhasil membawa beberapa muridnya untuk
bisa melanjutkan pendidikan di Jogja. Salah satunya ternyata adalah
Adrianus Moi yang kemudian menjadi Gubernur Bank Indonesia. Satu orang
lainnya kemudian menjadi Rektor Universitas Satya Wacana. Bagi saya, ini
adalah fakta baru yang sangat menggugah. Dengan kisah ini Anies hendak
menyampaikan betapa kerelaan menjadi guru di tempat terpencil itu bisa
mengubah hidup seseorang dan terutama bisa berkontribusi besar terhadap
kemajuan peradaban.
Jika Anda sama sekali tidak tahu apa itu IM, sebaiknya membaca website resminya di sini.
Singkatnya, IM memberi kesempatan kepada anak muda terbaik Indonesia
untuk mengabdi sebagai guru selama setahun di desa terpencil Indonesia.
Informasi terkini, ada 8000 lebih pelamar untuk memperebutkan 70an kursi
pengajar muda. Sangat mengejutkan sekaligus menyenangkan melihat begitu
besarnya niat banyak anak muda Indonesia untuk mengabdi pada
pendidikan. Dari segi persaingan, bisa dibayangkan betapa hebatnya
mereka yang diterima menjadi pengajar muda.
Saat menceritakan perjuangan para
pengajar muda, lagi-lagi Anies menyampaikannya dalam bentuk
pecahan-pecahan cerita yang membuncah semangat dan menyentuh hati. Kisah
anak-anak SD di Pualau Rupat yang karena bimbingan pengajar muda
berhasil mengikuti olimpiade di Jakarta adalah yang peling mengharukan.
Tidak saja karena ini adalah sejarah seumur hidup sekolah itu,
perjuangan perjalanan yang mengharukan adalah kekuatan cerita itu. IM
berhasil meyakinkan TNI AL untuk menjemput anak-anak di Pulau Rupat
karena mereka mengalami kendala transportasi. Dengan gaya bahasa yang
retorik, Anies menyampaikan bahwa peristiwa itu menyatukan banyak pihak
dan memberikan kesempatan pada semua pihak untuk menunjukkan perannya
bagi bangsa. Jawaban seorang petinggi TNI AL yang mengatakan “Harus bisa
kan!?” ketika ditanya “apakah bisa membawa anak-anak itu ke Jakarta?”
membuat kisah itu begitu inspiratif. Saya sesungguhnya sudah menyimak
cerita ini lewat twitter beberapa bulan lalu. Saya meneteskan air mata
haru saat duduk sendiri di sebuah coffee shop di Bandara Kingsford Smith
di Sydney. Kisah itu menghadirkan suasana perjuangan dalam
kesederhanaan di tengah kota megapolitan seperti Sydney. Saya terharu.
Tulisan ini bisa sangat panjang. Saya
mencatat dengan baik segala pelajaran dari Anies Baswedan sore itu. Satu
yang saya simpulkan, Anies benar bahwa para Ibu di Indonesia masih
melahirkan pejuang melihat anak-anak muda terbaik itu semangat menjadi
guru di tempat-tempat yang bahkan sulit ditemukan keberadaannya di peta.
Seperti kata Anies, mereka adalah generasi yang memiliki kompetensi
global dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan masyarakat akar
rumput. Dalam bahasa lain, mereka memiliki international competence and grass-root understanding.
Indonesia tersenyum memiliki orang-orang seperti Anies Baswedan yang
telah membuat para muda masih percaya pada kebajikan dengan
‘mendonasikan’ setahun hidupnya menjadi inspirasi di desa-desa
terpencil. Mereka adalah visualisasi mimpi bagi anak-anak Indonesia di
berbagai pelosok negeri. Terima kasih Mas Anies dan para pengajar muda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar