Selasa, 27 Mei 2014

Anies Baswedan

Anies Baswedan adalah intelektual muda Indonesia yang namanya sudah mendunia dan berwawasan global. Ia tercatat sebagai penerima penghargaan dari majalah Foreign Policy sebagai satu dari 100 Intelektual Publik Dunia yang paling berpengaruh pada bulan April 2008 bersama Noam Chomsky, Al Gore, Francis Fukuyama, Samuel Huntington, Vaclav Havel, Thomas Friedman, Bernard Lewis, Lee KuanYew dan pemenang Nobel asal Bangladesh, Muhammad Yunus.


Anies Baswedan lahir di Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969 berasal dari keluarga intelektual yang menyimpan tekad untuk turut membangun bangsa melalui jalur pendidikan, di antaranya dengan mengantarkan Paramadina menjadi universitas kelas dunia. Kedua orang tua Anies adalah dosen, Rasyid Baswedan, ayah Anies, pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia, sementara Aliyah Rasyid, ibu Anies, adalah guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta. Riwayat pendidikan Anies yaitu:
  1. TK Mesjid Syuhada di Kota Baru, Yogyakarta.
  2. SD Laboratori Yogyakarta.
  3. SMP Negeri 5 Yogyakarta.
  4. SMAN 2 Yogyakarta.
  5. Universitas Gadjah Mada (UGM) (1989-1995).
  6. Master Bidang International Security and Economic Policy di Universitas Maryland, College Park
  7. Departemen Ilmu Politik di Universitas Northern Illinois


                 
               

TEMAN DUDUK YANG SUKA BERANTEM

Meski tidak pernah menjadi juara kelas, ia terdaftar sebagai ’100 Intelektual Publik Dunia’.

Seakan sudah memperhitungkan waktu, pria muda itu mengakhiri pertemuannya dengan seorang profesor dari Colorado, Amerika Serikat menjelang kumandang azan Magrib bergema. Anies Baswedan, Ph.D., pria muda itu, menemui femina, dan berulang kali meminta maaf atas perubahan-perubahan yang mendadak tentang jadwal wawancara. ”Maaf, jadwal wawancaranya terpaksa harus berubah, karena besok pagi saya ada acara lain,” tuturnya, dengan sangat santun, sambil memohon izin untuk menunaikan salat Magrib.

Kesibukan suami Fery Farhati Ganis S.Psi, M.Sc. ini memang luar biasa. Rabu pagi itu misalnya, ia baru saja terbang ke Yogyakarta untuk berceramah di Festival Film Asia atas undangan sutradara film Garin Nugroho. Setelah mampir sebentar ke rumah kedua orang tuanya di Jalan Kaliurang, Yogya, menjelang sore ia sudah harus kembali ke Jakarta.

Sampai di Bandara Soekarno-Hatta, ia tidak langsung pulang. Karena, ada dua acara lagi yang menunggunya. Ia baru bisa menginjakkan kaki di rumahnya, di kawasan Lebak Bulus, sekitar pukul 23.00. Esoknya, pagi-pagi ia harus bersiap lagi memberikan ceramah ilmiah di Jakarta. Karena itu, wawancara dengan femina pun terpaksa disisipkan di antara padatnya jadwal. Sambil menikmati kemacetan yang menyesakkan di sepanjang jalan tol Bandara Soekarno-Hatta menuju Kampus Universitas Paramadina di Jalan Gatot Subroto, perbincangan itu berlangsung akrab.

MERASA ’KAYA’ SEJAK KECIL

Sejak bocah, Anies memang sudah sangat ’sibuk’. Menurut Prof. Dr. Aliyah Rasyid, ibunda Anies, putra sulungnya itu tergolong anak yang sangat aktif dan tidak cengeng. ”Dia tidak mau hanya duduk manis dan diam. Akibatnya, ia sering kali terjatuh. Ia pernah terjatuh di teras rumah, dalam posisi kepala di bawah dan kaki di atas. Saya langsung berlari mendekatinya karena khawatir ia gegar otak atau kepalanya terluka. Alhamdulillah... Anies ternyata tidak apa-apa. Meski jatuhnya sangat keras, Anies tidak menangis! Wajahnya saja yang kelihatan agak suram, menahan rasa sakit.”

Anies kecil memang jarang sekali menangis. Ketika tangannya terkena setrika panas sampai membengkak merah, ia tidak menangis. Padahal, saat itu usianya baru tiga tahun dan berbicara pun masih cadel. ”Kenapa tanganmu melepuh, Nak?” tanya ibunya. ”Kena trika,” jawab Anies kecil.

Anies lahir pada 7 Mei 1969 dengan pertolongan bidan Enny di Kuningan, kota kecil di bagian utara Jawa Barat, tempat kelahiran ibunya. Drs. A. Rasyid Baswedan, SU, suami Aliyah. Kemudian mereka memberi nama anak pertamanya itu, Anies. Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata anis berarti ’tanaman yang banyak tumbuh di kawasan Laut Tengah, buahnya kecil-kecil dan berbau harum, dipakai sebagai obat atau rempah-rempah’.

Tetapi, menurut Rasyid, anies artinya ’teman duduk’. Selain melambangkan ketaatan seorang anak, nama itu juga dimaksudkan untuk mengenang nama kakak perempuan tercinta Rasyid yang bernama Anisah yang saat itu sudah meninggal. ”Karena anak saya laki-laki, maka saya beri nama dia Anies. Lengkapnya Anies Rasyid Baswedan. Semua anak saya, saya sertakan nama saya dan nama keluarga, yaitu Rasyid dan Baswedan!”

Anies tumbuh tidak hanya aktif, namun juga lumayan nakal. ”Saat kanak-kanak, saya tergolong anak yang kurang baik,” akunya jujur. ”Saya sering berantem dan di antara mereka ada yang saya pukuli sampai berdarah-darah. Mungkin, di antara mereka banyak yang sebel, sehingga mereka kemudian mengeroyok saya.”

Saat itu usia Anies baru sekitar lima tahun dan masih tinggal bersama kakeknya. Anies dipukuli oleh sekitar lima-enam anak seusianya di lapangan tenis. Aliyah yang baru pulang dari kampus dan menyaksikan anaknya dipukuli teman-temannya, malah pura-pura tidak melihat. ”Sebagai ibu, saya tentu sangat kasihan,” papar Aliyah. ”Tetapi, saya lihat keadaannya tidak membahayakan, jadi saya biarkan saja. Itu sebagai latihan Anies agar mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.”

Anies besar di lingkungan keluarga pejuang yang sederhana, pendidik, dan peka kondisi sosial. Anies dan keluarganya memang tinggal di rumah kakeknya, Abdurrachman (AR) Baswedan, seorang jurnalis dan perintis kemerdekaan yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan (1946) serta anggota konstituante (Dewan Perwakilan Rakyat). Kedua orang tua Anies adalah dosen. Rasyid pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia, sementara Aliyah adalah guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta.

Lingkungan kehidupan orang-orang pilihan inilah yang membuat Anies merasa ’kaya’ sejak bocah. Dari kakeknya, ia mendapatkan nilai-nilai perjuangan, kemanusiaan, kejujuran, dan sebagainya. Sepanjang sejarah di Indonesia, mungkin hanya kakeknyalah tokoh nasional yang hingga akhir hayatnya tidak mempunyai rumah.

Saat itu, kakeknya tinggal di Taman Yuwono, kompleks perumahan yang dibangun bagi para pejuang kemerdekaan. Kompleks yang terletak di Jalan Dagen, belakang Jalan Malioboro, itu terdiri dari 20 rumah dan sebuah lapangan tenis yang dibangun oleh Haji Bilal, seorang pengusaha batik di Yogya. Rumah yang ditinggali oleh kakek Anies ini sebelumnya pernah didiami oleh Kasman Singodimedjo, M. Natsir, dan M. Roem. Di rumah ’wakaf’ kakeknya itu tidak ada telepon, sepeda motor, apalagi mobil.

Meski Anies lahir di lingkungan keluarga akademisi, Rasyid dan Aliyah sepakat membiarkan semua anaknya tumbuh alamiah. Ia tidak memaksakan agar putra-putrinya bisa membaca dan meng¬hitung lebih dini, misalnya. ”Kami yakin anak-anak kecil butuhbermain yang produktif dan kreatif. Karena, dunia bermain pada anak sama dengan dunia bekerja pada orang dewasa. Itulah yang bakal menjadi bekal kehidupan mereka ke depan,” tutur Aliyah.

Menurut Aliyah, Anies baru menangis saat ia me&rengek-rengek minta sekolah. Awalnya, Aliyah kurang menggubrisnya, karena saat itu usia Anies baru tiga tahun. Ia pikir, anaknya itu hanya ingin sekolah, karena setiap hari menyaksikan anak-anak lain yang masuk di sekolah TK Bustanul Athfal, tidak jauh dari rumah.

Namun, ketika Anies setiap kali merengek minta dimasukkan ke sekolah, Aliyah berusaha berkonsultasi dengan Rahayu Haditono, psikolog kenamaan di Yogya. ”Biarkan saja anak Ibu masuk sekolah. Tetapi, kalau tiba-tiba dia ingin berhenti sekolah, jangan dipaksa sekolah,” saran Rahayu.

Anies pun mulai sekolah. Setiap hari ia diantar Eyang AR Baswedan. Seperti sudah diduga, Anies belum sepenuhnya ingin sekolah. Terkadang menggebu-gebu ingin masuk sekolah, tetapi dalam kesempatan lain tiba-tiba mogok dan tidak mau masuk sekolah lagi. Menjelang usia lima tahun, barulah ia kemudian dimasukkan di sekolah TK Mesjid Syuhada di Kota Baru, Yogya.

Setiap hari Anies diantar-jemput oleh Gimin, tukang becak yang hampir setiap hari mangkal di dekat rumah kakeknya. ”Selain kami berdua bekerja, kami juga ingin melatih Anies agar bisa lebih cepat mandiri,” Aliyah memberi alasan. ”Tetapi, sebenarnya diam-diam saya mengikutinya dari belakang. Sebagai seorang ibu, saya tidak tega melihat anak usia lima tahun naik becak sendiri.”

Anies tergolong pemberani. Saat di TK Syuhada itu, Rasyid pernah menyaksikan anak sulungnya menonjok teman sekolahnya yang jauh lebih besar. Gara-garanya, Anies melihat anak besar itu mengejar dan akan memukul seorang anak yang lebih kecil. Anies langsung mengejar dan mendorong anak besar itu sampai terjatuh. Ketika anak besar itu bangun dan memandangi Anies dengan marah, Anies justru balik memandangi anak itu dengan pandangan yang lebih tajam. Apa yang terjadi? Anak itu ngeloyor pergi, tanpa berani memandang mata Anies.



BELAJAR ADIL DI MEJA MAKAN

Memasuki usia enam tahun Anies dimasukkan ke SD Laboratori, salah satu SD negeri terbaik di Yogya. Aliyah bercerita, hari pertama masuk sekolah, Anies ngambek, karena belum dibelikan tas sekolah. Akhirnya Aliyah buru-buru mencarikan tas untuk Anies. Tetapi, setelah mulai masuk di sekolah ini, Anies kembali berulah. ”Anies sering kali berkelahi, sehingga saya sering kali dipanggil oleh guru ke sekolah, laporan guru-guru itu saya terima, tetapi saya merasa berkelahi itu bagian sosialisasi. Selama tidak membahayakan, saya biarkan saja mereka berkelahi,” kata Aliyah.

Anies berangkat ke sekolah dibonceng dengan sepeda. Umumnya, anak-anak di sekolah ini naik sepeda sendiri, diantar dengan mobil pribadi, bus, dibonceng sepeda motor, atau diantar dengan becak. Rupanya, orang tuanya sengaja memberikan pekerjaan antar-jemput dengan sepeda itu kepada Puji, tetangganya, yang saat itu sedang menganggur. Diam-diam, hal itu membuat Anies kurang pede. ”Saya agak malu. Bagaimana tidak malu kalau saya satu-satunya murid yang diantar-jemput dengan sepeda?” kilah Anies, tersenyum.

Beruntung antar-jemput dengan sepeda itu hanya berlangsung selama dua tahun, karena memasuki kelas 3, Anies sudah dibelikan sepeda sendiri oleh ayahnya. Dan, sejak kelas 3 itu, Aliyah tidak pernah lagi diundang guru ke sekolah. ”Sejak kelas 3, saya tidak pernah berantem lagi,” ujar Anies.

Meski hidup sederhana, Anies merasakan kedamaian dan kebahagiaan yang luar biasa pada keluarganya. Masih terbayang jelas saat ia bersama dengan kedua adiknya menunggui ayahnya pulang. Mereka berharap ayahnya membawa kotak makanan, bagian ayahnya dari rapat di kampus.

Di meja makan, hampir setiap hari ayah dan ibunya membiasakan makan bareng. Di tempat inilah kedua orang tua Anies acapkali memberikan pendidikan kejujuran, keadilan, kebersamaan, dengan cara sederhana. Antara lain, kalau saat itu lauknya telur dadar, maka salah seorang di antara ketiga anaknya disuruh membagi dengan pisau. Tapi, bagi yang memotong itu, dia harus mengambil bagiannya paling akhir. Dengan demikian, ia selalu berusaha memotong telur dadar itu seadil mungkin, sama besar!

Begitu juga kalau persediaan nasi terbatas, maka salah seorang di antara ketiga anak itu harus membagi. Seperti juga saat membagi telur, untuk anak yang membagi nasi itu, dia harus mengambil bagiannya paling belakangan. Di meja makan ini pula, kedua orang tua Anies membiasakan terjadinya dialog. Rasyid dan Aliyah membiarkan anaknya mendebat pendapatnya, atau berbeda pendapat dalam suatu masalah.

Sikap egaliter inilah yang membuat kedua adik Anies, kalau memanggil dirinya cukup dengan panggilan Anies, tanpa menambah dengan kata mas, abang, atau kakak. ”Tapi, tidak dalam masalah agama! Untuk hal yang satu ini, tidak boleh ada perdebatan. Islam harus menjadi agama keluarga besar kami. Abah dan Mama lebih menekankan bagaimana kami anak-anaknya menjadi orang beragama yang baik,” tutur Anies.

Anies sangat terkesan setiap kali acara Sekaten di Alun-Alun Utara Keraton Yogya dan Peringatan HUT Kemerdekaan RI di Jalan Malioboro. Untuk menuju ke tempat dua acara itu mereka cukup berjalan kaki, karena jaraknya tidak jauh. Setiap kali menyaksikan acara peringatan HUT Kemerdekaan itu, Anies selalu digendong di atas bahu abahnya. ”Saya suka sekali melihat drum band,” kenangnya.

”Begitu terkesannya Anies pada drum band, setelah itu Anies pun mengajak teman-temannya bermain drum band,” tambah Aliyah. ”Mereka menggunakan kaleng kosong yang diikatkan ke tubuh mereka dan kemudian mereka pukuli dengan kayu. Mereka berbaris di lapangan tenis di dekat rumah, seperti drum band yang mereka tonton di Jalan Malioboro.”

Tidak itu saja. Ayahnya juga sering kali mengajak dirinya dan kedua adiknya nonton film ke gedung bioskop. ”Jadi, Abah itu di mata kami seperti teman. Kami biasanya nonton bareng-bareng berempat ke Mataram Teater, bioskop terbaik di Yogya saat itu!”

Rasyid mengungkapkan, kalau ada di antara anak-anaknya yang tanpa sengaja berbicara tentang suatu judul film, diam-diam ia biasanya lebih dulu menonton film itu. ”Kalau film itu cukup baik untuk ditonton oleh anak-anak, barulah saya mengajak mereka untuk menonton.”

Ada cerita unik ketika Anies akan mengikuti ujian SD. Berbeda dengan kebanyakan orang tua yang lain, saat anaknya akan menghadapi ujian, mereka umumnya menganjurkan anaknya tekun belajar. Tetapi, tidak pada Rasyid. Saat esok hari harus mengikuti ujian akhir SD, ayahnya malah mengajak Anies dan kedua adiknya makan malam di luar. Kata ayahnya, ”Selama ini kamu sudah belajar. Itu sudah cukup! Jadi, kamu jangan tegang menghadapi ujian besok. Daripada kamu belajar malah jadi makin butek pikiranmu, lebih baik malam ini kita relaks. Yang penting kamu jangan lupa membaca bismillah!”

BERBAKAT MEMIMPIN

Meski tinggal hanya sekitar tiga kilometer dari Keraton Ngayogjokarto Hadiningrat, keluarga Anies berbicara sehari-hari di rumah dengan bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa. Maklum, Aliyah, ibunda Anies, adalah wanita Sunda (Kuningan). ”Meski berbicara dengan bahasa Indonesia, tata krama di rumah tetap gaya Jawa Yogya. Saya dan adik-adik mengerti bahasa Jawa dari lingkungan, walaupun bukan bahasa Jawa tinggi, atau kromo inggil,” tutur Anies.

Seperti saat kanak-kanak, saat sudah mulai sekolah pun, Anies masih tetap saja selalu ’sibuk’. Bersama teman-temannya di Taman Yuwono, ia bermain sepak bola, mercon, kelereng, petak umpet, layang-layang, dan sebagainya. Ayahnya juga memasukkan Anies ke sebuah klub sepak bola PS Gama, di Yogya.
Makin besar, bakat kepemimpinan Anies kian tumbuh. ”Ia cenderung mencari teman yang usianya rata-rata lebih tua daripada dirinya,” tambah Aliyah.

Ridwan, adiknya, sangat terkesan ketika kakaknya membentuk kelompok anak-anak muda (7-15 tahun) kampungnya yang diberi nama Kelabang (Klub Anak Berkembang). Saat itu usia Anies baru 12 tahun. Mereka kemudian membuat seragam lengkap dengan tulisan Kelabang dan gambar binatang kelabang (lipan), dan setelah itu mereka mengadakan berbagai kegiatan olahraga dan kesenian. ”Karena yang mempunyai inisiatif itu Anies, maka mereka semua pun sepakat untuk menunjuk Anies sebagai ketuanya,” Ridwan menambahkan. Salah satu kegiatan Kelabang adalah membuat sekolah sepak bola. Anies kemudian membuat tulisan di atas papan bertuliskan Sekretariat Sekolah Sepakbola, yang ia pasang di depan rumah.

Di sekolah, sikap kepemimpinan Anies juga makin tersemai. Ia beberapa kali dipercaya oleh teman-temannya menjadi ketua kelas di SD Laboratori Yogya. Oleh kedua orang tuanya, Anies memang didorong untuk aktif mengikuti kegiatan di sekolah. ”Dengan aktif berorganisasi, selain akan banyak belajar bagaimana mengelola manusia, tugas, dan perencanaan, dia juga akan terbiasa mendengar sesuatu yang tidak enak,” papar Rasyid. ”Di dalam organisasi mereka bisa berlatih menerima suara-suara yang tajam itu,” imbuhnya.

Disadari atau tidak, berbagai aktivitas itu akhirnya agak mengganggu Anies di kelas. Ia tidak pernah mendapatkan nilai terbaik, walaupun masih masuk dalam urutan 10 besar di kelasnya. Ayah-ibunya sudah memprediksi hal itu. ”Ia memang tidak pernah meraih peringkat terbaik, tetapi ia mendapatkan sesuatu yang nilainya jauh lebih dari nilai di rapor itu!” tegas Rasyid.

Dari tahun ke tahun sikap kepemimpinannya makin menonjol, sehingga menarik perhatian para guru di sekolahnya. Itu sebabnya, saat memasuki kelas 5 dan 6 di sekolah itu, Anies ditunjuk oleh gurunya untuk berpidato saat acara salat Idul Adha yang diselenggarakan di sekolah. ”Saat itulah untuk pertama kali saya berpidato di depan orang banyak.” Anies berusaha merenda masa kecilnya.


MASUK ISTANA TANPA IZIN

Anies yang baru kelas 2 SMA, nekat menemui Presiden Soeharto dan Ny. Tien Soeharto tanpa izin. Ia berhasil, meski sebelumnya dimarahi habis-habisan.

Saat duduk di bangku SMP, Anies bersama Anjang dan tiga orang temannya pernah membuat panik orang sekampung. Mereka dikira sudah tewas, tenggelam di Selokan Mataram, sungai yang dibuat oleh Hamengku Buwono IX di zaman penjajahan Jepang untuk menjaga rakyatnya agar tidak dipaksa sebagai romusa.

Pagi-pagi sekali, beberapa hari setelah Lebaran, Anies pamit akan mengarungi sungai yang terletak di sebelah utara kampus UGM Yogya, yang menghubungkan Sungai Progo dengan Sungai Opak. Mereka akan berlayar dari Jalan Kaliurang sampai di dekat Candi Prambanan (perbatasan Klaten-Yogya). Tetapi, hingga sore rombongan anak-anak yang menggunakan perahu rakitan batang pisang itu ternyata belum juga pulang. Banyak orang akhirnya berspekulasi, anak-anak itu sudah tenggelam.

Keluarga mereka tentu sangat cemas, termasuk orang tua Anies. Meski sudah pamit, kedua orang tua Anies tidak mengira kalau sampai selarut itu Anies belum juga pulang. Adik Anies, Ridwan, disuruh untuk mencari kakaknya dengan dibonceng sepeda motor pamannya. Bersama anggota keluarga anak-anak yang lain, mereka menyusuri sepanjang sungai. Ternyata, Anies dan teman-temannya masih berada di sungai di dekat Candi Prambanan. Suatu petualangan yang cukup jauh dan sangat melelahkan!

’HOBI’ MELAYAT PEJUANG

Kalau saja Anies bersama teman-temannya benar-benar tenggelam di sungai itu, selain kedua orang tua, adik-adik, dan keluarga besarnya, ada lagi keluarga yang sangat berduka, yaitu keluarga besar siswa, guru, dan karyawan SMP Negeri 5 Yogya. Sebagai Ketua Seksi Pengabdian Masyarakat, salah satu tugas Anies adalah mengabarkan dan mengumpulkan dana kalau ada anggota keluarga dari siswa, guru, atau karyawan di sekolah itu yang sakit atau meninggal.

Setiap kali ada yang mendapat musibah, Anies langsung mendatangi kelas demi kelas di sekolah itu. Selain mengumumkan adanya musibah ke seluruh kelas (ada 30 kelas), ia juga mengedarkan kotak amal untuk mengumpulkan dana. Setelah itu, ia memimpin teman-temannya mendatangi keluarga yang sedang terkena musibah untuk menyampaikan rasa dukacita dan sumbangan. Secara struktural, jabatan itu seolah tidak penting dalam organisasi siswa sekolah. Tetapi, pada pelaksanaannya, justru seksi inilah yang paling aktif.

Tanggung jawab yang diemban Anies dengan baik ini telah berhasil menempa diri Anies menjadi lebih dewasa dibanding usia yang sebenarnya. Sebagai anak usia 13 tahun, ia harus berbicara di kelas di depan guru dan puluhan siswa. Setelah itu, ia harus mewakili sekolah untuk menyampaikan rasa dukacita dan sekaligus sumbangan.

Semua siswa dan guru di SMP 5 itu akhirnya mengenal Anies. Saat duduk di bangku kelas 2, ia terpilih sebagai Ketua Panitia Tutup Tahun SMP Negeri 5. Acara yang diselenggarakan di Gedung Purna Budaya ini diadakan secara besar-besaran dan megah. Untuk menyukseskan acara itu, ia harus melibatkan banyak personel. ”Alhamdulillah, acara ini ternyata bisa berjalan dengan sukses,” katanya.

Setelah dewasa, Anies baru menyadari, betapa besar manfaat kegiatan di masa remaja itu bagi kehidupannya saat ini. Selain menjadi lancar berbicara di depan banyak orang, ia makin peka setiap kali ada kabar kematian. Saat Sultan Hamengku Buwono IX meninggal, ratusan ribu pelayat memenuhi alun-alun utara Yogya. Tetapi, Anies ingin sekali melayat dan bisa memasuki Sitihinggil, tempat jenazah orang nomor satu di Yogya itu disemayamkan.

Bersama Ridwan, Anies berusaha menjebol barikade lautan manusia yang meluber di seluruh alun-alun sampai kantor pos. Anies mengekor di belakang Ridwan yang bertubuh lebih besar, yang terus meringsek masuk. Usahanya tidak sia-sia. Anies dan Ridwan berhasil sampai di Sitihinggil, meski dengan sangat susah payah. Perjalanan dari kantor pos menuju Sitihinggil yang hanya berjarak sekitar dua kilometer, harus ditempuh selama lebih dari empat jam! ”Hati saya plong, bisa ikut menyalatkan almarhum.”

’Hobi’ melayat para tokoh pejuang ini menjadi kebiasaannya hingga kini, meski ia sendiri secara pribadi tidak mengenal tokoh itu maupun keluarganya. ”Mungkin, karena saya sangat hobi membaca biografi, saya memiliki rasa hormat pada para pejuang. Jadi, kalau mereka pulang ke pangkuan Ilahi, saya merasa harus mengantar,” tuturnya, tulus. ”Saat Kiai Ali Maksum, pimpinan Pondok Pesantren Krapyak, meninggal dunia, saya jalan kaki cukup jauh dari Krapyak sampai ke tempat pemakamannya di Jalan Bantul, Yogyakarta.”

Dan, setiap kali Anies menghadiri pemakaman para tokoh itu, ia seakan sedang menyaksikan betapa besar akumulasi pahala para tokoh itu. ”Kalau dia tidak banyak berbuat untuk tanah air, bangsa, atau agamanya, mana mungkin kepulangan mereka diantar begitu banyak orang?”

BELAJAR KELUHURAN BUDI DARI SANG AYAH

Seperti anak-anak yang lain, semasa bocah, Anies juga banyak bermain. Sepulang sekolah, Anies tidak langsung pulang ke rumah. Bersama teman-temannya, ia sering kali mengadakan penjelajahan, yaitu bersepeda menuju tempat-tempat baru. Tempat-tempat itu umumnya daerah pedesaan yang masih seperti hutan, yang terkadang masih ada ular maupun binatang buas lain. ”Karena, saya sangat terkesan pada film Tarzan,” ujarnya, tersenyum.

Saat kelas 2 SMP, Anies sempat ditangkap polisi lalu lintas karena melanggar rambu lalu lintas saat mengendarai sepeda motor. Repotnya lagi, ia belum mempunyai SIM (surat izin mengemudi). ”Mak nyes... begitu perasaan saya ketika polisi menyetop. Saya tegang dan ketakutan luar biasa, karena seumur-umur saya tidak pernah melanggar aturan dan berurusan dengan polisi,” katanya, polos.

Anies dibawa ke Kantor Polisi Gondomanan. Sepeda motornya disuruh ditinggalkan di situ, dan ia pulang naik becak. Dengan penuh rasa berdosa, ia melaporkan semua kejadian tersebut kepada ayahnya. Di luar dugaan, sang ayah sama sekali tidak menunjukkan ekspresi kemarahan. ”Oya, ada apa?” kata ayahnya, datar saja menanggapi persoalan tersebut.

Esoknya, Anies diajak ke kantor polisi oleh ayahnya. Di kantor polisi, ayahnya langsung masuk, sementara Anies disuruh duduk menunggu di ruang depan. Ayahnya keluar dari ruang kantor itu dengan membawa STNK dan membawa pulang motor Vespa itu. Anies terkesan sekali pada sikap ayahnya itu. ”Saya sadar, saya melakukan kesalahan. Tetapi, saya tidak dimarahi, malah justru dibela. Di sinilah saya merasa, betapa Abah sangat menyayangi dan melindungi kami, anak-anaknya!”

Sikap itulah yang membuat Anies makin hormat, segan, dan tunduk kepada ayahnya. Baginya, hukuman tanpa hukuman itu justru membuatnya makin takut untuk berbuat kesalahan. Tetapi, entah kenapa, nasib sial itu kembali menghampiri Anies di jalanan.

Saat kelas 3 SMP, ia mengendarai Vespa-nya di Jalan Kaliurang, berboncengan dengan Anjang. Ia tahu, beberapa meter di depannya ada seseorang naik sepeda, sehingga ia pun berusaha mengambil posisi lebih ke kanan. Tetapi, ketika motor Anies tepat berada di kanan sepeda itu, mendadak sekali pengendara sepeda iseng membelak-belokkan alat kemudinya.

Karena kecepatannya agak tinggi, Anies tak sempat lagi menghindar dari pengendara sepeda yang sedang bermain-main di jalanan itu. Tabrakan keras pun tak terhindarkan. Pengendara sepeda terpelanting dan pingsan, sementara Anies terjatuh dan menderita luka-luka, tangannya bengkak dan tak bisa digerakkan.

Lagi-lagi Anies menemukan keluhuran budi ayah-bundanya. Saat menjenguk Anies maupun pengendara sepeda itu di RS Sardjito, sikap ayahnya tetap saja sangat menyejukkan. Ayah-ibunya sama sekali tidak panik dan tidak membicarakan masalah tabrakan itu. Mereka hanya menanyakan apakah Anies pusing, telinganya keluar darah atau tidak, dan bagian mana saja dari tubuh Anies yang sakit. ”Saat saya melakukan dua kesalahan yang sangat fatal, ngebut dan menabrak orang sampai pingsan, Abah sama sekali tidak memarahi saya sedikit pun!”


MASUK ISTANA TANPA IZIN

Anies yang baru kelas 2 SMA, nekat menemui Presiden Soeharto dan Ny. Tien Soeharto tanpa izin. Ia berhasil, meski sebelumnya dimarahi habis-habisan.

KETUA OSIS SE-INDONESIA
Lulus SMP, Anies mendaftarkan diri ke SMA Negeri 2 Yogya. Lagi-lagi ia tak bisa lepas dari aktivitas organisasi di sekolah barunya itu. Beberapa bulan setelah ikut aktif di OSIS, ada pemilihan ketua OSIS yang baru. Saat itu ada empat calon ketua, satu orang dari kelas 1, dua orang dari kelas 2, dan seorang lagi dari kelas 3.

Anies, yang baru tiga bulan bersekolah di tempat itu, terpilih sebagai calon ketua yang diajukan dari kelas 1. Ia harus bertarung melawan tiga calon ketua dari kelas 2 dan 3. Pemilihan itu diselenggarakan secara langsung dan setiap calon ketua harus berpidato, mengajukan gagasan dan programnya masing-masing di hadapan seluruh siswa. ”Saya berhasil menjadi pemenangnya, dengan selisih kemenangan yang cukup besar,” ujarnya, tanpa maksud menyombong. ”Tetapi, kemenangan itu akhirnya dianulir oleh para guru dan pimpinan sekolah. Dalam sejarah sekolah itu, belum pernah ada anak kelas 1 menjadi ketua OSIS.”

Akhirnya diputuskan, pemenang urutan kedua adalah Novi, sis¬wi kelas 2, yang menjadi ketua OSIS yang baru. Anies ditunjuk sebagai wakil ketua. ”Tahu tidak, saya tadi siang berjumpa mantan ketua OSIS itu di pesawat. Dia sekarang menjadi dosen di UGM,” kata Anies, sembari tertawa lepas.

September 1985, sebagai wakil ketua OSIS SMAN 2, Anies di¬tunjuk oleh sekolah untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan di Jakarta. Acara ini sesungguhnya diperuntukkan bagi para ketua OSIS SMA dari seluruh Indonesia. Dari Yogya ada 10 delegasi, dan jumlah peserta dari seluruh Indonesia mencapai 300 orang yang diinapkan di sebuah hotel di Jakarta Selatan. Agar acara pelatihan berjalan lancar, maka ditunjuklah seorang ketua untuk memimpin acara itu. Hebatnya, meski Anies hanya sebagai wakil ketua OSIS dan masih kelas 1, ia terpilih sebagai ketua OSIS SMA se-Indonesia yang umumnya siswa kelas 2 dan 3.

Dalam forum inilah Anies merasa sikap kepemimpinannya benar-benar diuji. ”Bayangkan, di sini saya harus memimpin ratusan anak, yang hampir semua di antara mereka adalah anak-anak pilihan, yang semuanya merasa bahwa diri mereka adalah seorang pimpinan di sekolah mereka. Saya benar-benar diuji, sehingga saya harus banyak bernegosiasi, berbicara, persuasif, dan berbagai cara lain sehingga forum itu bisa berjalan dengan baik dan suasananya hidup!”

Pengalaman ini sangat berkesan pada diri Anies. Selain terpilih sebagai ketua, di tempat ini pula ia bertemu dengan Menteri Pendidikan, Prof. Dr. Fuad Hasan. ”Saya bangga sekali bisa bertemu dengan Pak Menteri,” paparnya, dengan wajah berbinar. ”Sebagai anak Yogya, orang pelosok, yang datang ke Jakarta dan bisa berjabat tangan dengan Pak Menteri, wah... saya seperti sedang mimpi. Foto dengan Pak Menteri itu saya bawa pulang ke Yogya dan saya ceritakan kepada semua orang, bahwa saya bertemu dan berjabat tangan dengan Pak Menteri yang ramah dan hangat itu.”


GEGAR BUDAYA SEPULANG DARI AS

Meski sangat sibuk berorganisasi, Anies masih berhasil naik ke kelas 2, tahun 1986. Seperti saat di SD maupun SMP, prestasi akademi Anies memang bukan yang terbaik, walaupun tetap di atas rata-rata. Namun, dengan kesukaannya membaca dan mempelajari bahasa Inggris, Anies berhasil terpilih menjadi peserta AFS, program pertukaran pelajar siswa Indonesia-Amerika, tahun 1987.

Selama satu tahun Anies tinggal di rumah sebuah keluarga di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat. Untuk mengikuti pemilihan tidaklah mudah, karena harus mengikuti berbagai tes. Dari Yogya hanya dua anak, yaitu Anies dan Rina, siswi SMA Muhammadiyah 1.

Tinggal di negara superpower itu, Anies mengaku mengalami gegar budaya yang sangat dahsyat. ”Saya mengalami gegar budaya yang luar biasa hebat. Jangankan ke Amerika, ke Jakarta saja saya masih terkagum-kagum. Kepergian saya ke Amerika itu membawa efek yang besar bagi kehidupan saya, dan membuka cakrawala yang sangat besar. Cara berpikir saya menjadi lebih global.”

Efeknya, Anies merasakan pergeseran yang luar biasa pada pemikiran-pemikirannya saat masuk kembali ke SMAN 2 tahun 1988. ”Saya merasakan banyak kejanggalan dan ketidakadilan di sekeliling saya! Mendadak muncul pemberontakan-pemberontakan. Di sekolah, saya merasakan banyak aturan yang tidak masuk akal, pelajaran membosankan, guru yang tidak mau diajak dialog, dan teman pun jarang yang sejalan.”

Beruntung Anies memiliki seorang ibu yang penuh pengertian. ”Ini adalah realitas dari Republik ini. Hiduplah dengan keadaan itu, dan perjuangkan agar terjadi perubahan. Tetapi, jangan sekali-kali nyempal. Jangan menarik diri!” kata sang ibu setiap kali putra sulungnya memprotes sesuatu di lingkungannya.

Aliyah sadar, putranya itu tengah mengalami guncangan pemikiran yang luar biasa. Ia berusaha menghadapi putranya itu dengan sikap keibuan. Kesibukannya sebagai Guru Besar Universitas Negeri Yogya, ia kurangi agar bisa lebih fokus menangani putranya.

”Banyak acara penting yang sengaja saya batalkan demi mendampingi Anies yang batinnya tengah bergolak. Ia tiba-tiba menjadi sangat tidak nyaman di lingkungannya sehingga ingin berontak. Mendadak ia benci pada sekolahnya, karena keadaan sekolahnya sangat berbeda dengan di Amerika. Syukurlah, Anies itu anaknya terbuka, sehingga semua permasalahan dia bicarakan dengan saya,” cerita Aliyah.

Rasyid menambahkan, anak sulungnya itu akan langsung melawan kalau diperlakukan tidak adil. Suatu hari, ia membuat SIM ke kantor polisi. Saat ia harus membayar dokter, blanko formulir, dan berbagai persyaratan lain, ia tidak berontak karena semua itu disertai dengan kuitansi. Tetapi, ketika akan mengambil SIM yang sudah jadi, tiba-tiba ia diharuskan memasukkan uang ke kotak oleh petugas di situ. Anies menolak karena petugas itu tidak mau memberikan kuitansi. Dia diancam tidak akan mendapatkan SIM.

Anies tidak mau diperlakukan tidak adil seperti itu. Ia meng¬hadap komandan bagian pembuatan SIM, dan melaporkan tindakan petugas itu. Apa yang terjadi? Sang komandan bukan hanya menerima pengaduan Anies, tetapi juga mengambilkan SIM-nya.

DIMARAHI STAF PRESIDEN
’Kekayaan’ Anies meningkat lagi ketika bulan Januari 1989 TVRI Yogya pimpinan Ishadi SK membuat acara yang bernama Tanah Merdeka. Acara ini merekrut anak-anak muda di Yogya untuk mewawancarai tokoh-tokoh nasional. Anies termasuk salah satunya. Dari sinilah kekayaan batin Anies dari hari ke hari terus bertambah. Selain meningkatkan diri di bidang ilmu jurnalistik, Anies juga bisa banyak belajar dari kehidupan orang-orang besar.

Satu per satu tokoh nasional ia datangi dan ia wawancarai. Antara lain, Sultan Hamengku Buwono IX, Tien Soeharto, Sudomo, WS Rendra, Emil Salim, Taufiq Ismail, dan masih banyak lagi. Namun, tidak semua program berjalan mulus. Suatu hari Anies bersama teman-temannya ’kena batunya’. Ketika Presiden Soeharto meresmikan Muktamar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Krapyak di Yogya, Anies bersama timnya bermaksud mewawancarai. Tanpa sepengetahuan pimpinan, mereka berangkat dengan mobil TVRI Yogya, dilengkapi kamera, menuju ke Gedung Agung tempat Presiden Soeharto dan para menteri menginap, lewat pintu belakang istana. Karena mobil itu berlogo TVRI Yogya, meski belum ada janji, mereka boleh masuk.

Namun, apa yang terjadi? Begitu mendatangi kepala rumah tangga kepresidenan dan memohon izin untuk bisa mewawancarai Presiden Soeharto, Anies dan teman-temannya dimarahi habis-habisan. ”Apa-apaan ini? Tidak ada wawancara dengan Presiden!” kata staf kepresidenan itu penuh kemarahan. Tetapi, dengan sikap tenang, Anies dan teman-temannya memberikan pengertian kepada pejabat tersebut. Setelah berdialog hampir satu jam, pejabat tersebut akhirnya bisa mengerti. ”Saya janjikan kalian bisa wawancara dengan Pak Harto, tetapi tidak sekarang,” katanya.

Malam itu mereka kemudian dipertemukan dengan Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto, tetapi hanya sekadar bertegur sapa. ”Sekarang Bapak capai. Nanti kapan-kapan di Jakarta saja, ya, Anak-Anak...,” kata Ibu Tien, ramah. Meski demikian, Anies bersama teman-temannya tidak pulang dengan tangan hampa. ”Sekarang, kalau kalian ingin wawancara dengan pejabat siapa pun, saya akan bawa kemari. Silakan mau pilih menteri siapa,” lanjut kepala rumah tangga kepresidenan itu.

Dalam waktu hampir bersamaan, Laksamana (Pur) Sudomo, saat itu menjabat sebagai Menteri Koperasi, melintas di tempat duduk mereka. Anies pun spontan meminta tolong kepada kepala rumah tangga kepresidenan untuk bisa mewawancarai mantan Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Ketertiban dan Keamanan) yang sangat disegani itu. ”Dom... Dom, iki bocah-bocah soko TVRI Yogya pengin ketemu awakmu (ini anak-anak TVRI Yogya ingin bertemu kamu)!”

Saat ia bersama timnya dari Yogya berangkat ke Jakarta, Presiden Soeharto ternyata tengah berada di luar kota. Kepala rumah tangga kepresidenan kemudian menawari Anies untuk mewawancarai Ibu Tien Soeharto. Anies setuju. ”Saat Ibu Tien wafat, rekaman wawancara saya itulah yang berulang kali diputar ulang di TVRI Pusat Jakarta. Rupanya, tidak ada wawancara lain yang cukup panjang,” kenangnya.


NYARIS DITOLAK GADIS PUJAAN

Saat Anies mengungkapkan perasaannya, hati gadis itu berbunga-bunga. Tetapi, kenapa setelah itu si gadis justru sangsi dan khawatir?

Sibuk dan sibuk. Itulah kekhawatiran utama Fery Farhati Ganis S.Psi, M.Sc., yang saat itu masih menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, saat ’dilamar’ oleh Anies di sebuah resto di Yogyakarta. Kekhawatiran Fery itu akhirnya menjadi realitas kehidupan Anies, yang kini telah menjadi suami dan memberinya empat anak, Mutiara Annisa (12), Mikail Azizi (9), Kaisar Hakam (4), Ismail Hakim (4 bln).

Saat femina datang pada hari Sabtu, hari pertama puasa, Anies tidak libur juga. Pagi-pagi ia sudah menerima PBS (Public Broadcasting Station). Stasiun televisi Amerika ini memiliki program 30 menit yang digemari masyarakat Amerika Serikat yang dibawakan oleh Jim Lehrer, moderator langganan acara Debat Calon Presiden Amerika. Anies diwawancara untuk topik tentang Indonesia, Islam, dan Demokrasi.

Di tengah wawancara yang ia sambi melayani putra-putrinya dan diramaikan kicau 10 burung di rumahnya di kawasan Lebak Bulus, ponselnya beberapa kali berdering. Anies seakan lupa, ia nyaris ditolak oleh wanita yang untuk pertama kali mengisi relung hatinya itu, karena kesibukan yang terus menderanya.

JATUH CINTA PADA SEPUPU

Kisah cinta antara Anies dan Fery agak unik. Dua sejoli ini sesungguhnya sudah saling mengenal sejak kecil, karena masih ada hubungan keluarga. Fery yang dilahirkan di Kuningan itu adalah keponakan Aliyah, ibunda Anies. Tahun 1989, ketika keduanya diterima sebagai mahasiswa UGM, keduanya sudah sering kali bertemu dan mengobrol. Tempat kos Fery pun berseberangan dengan rumah orang tua Anies. Tapi, entah kenapa, hati Anies belum juga terusik melihat kecantikan sepupunya itu. Mata Anies masih terus berusaha menelisik gadis-gadis yang berseliweran di sekitarnya.

Sebagai pemuda tampan, terkenal, dan pandai, sejak SMA Anies banyak digandrungi gadis-gadis. Entah sudah ada berapa surat cinta yang menyelinap di saku atau tas sekolahnya. Tetapi, semuanya dibiarkan lewat begitu saja. Anies bukan tidak ingin menikmati masa mudanya itu bersama gadis-gadis cantik di sekitarnya. Namun, ia selalu ingat pesan ayahnya, ”Jangan coba-coba memulai sesuatu, kalau kemudian hanya ingin mengakhiri!”

Pesan itu sepintas terasa sangat sederhana. Namun, kalau diresapi, maknanya begitu dalam. ”Saya juga ingin punya pacar. Tetapi, karena tidak ada keberanian untuk memulai dan main-main, maka saya memilih untuk tidak pacaran. Saya menyadari, Yogya itu kota kecil. Kalau saya sampai pacaran atau berbuat sesuatu yang agak miring, maka seluruh orang Yogya akan mengetahuinya,” katanya. Akhirnya Anies memutuskan untuk tidak berpikir tentang wanita sampai ia menyelesaikan kuliah di UGM.

Namun, bukan berarti Anies lalu mengenakan kacamata kuda. Ia terus mengamati gadis-gadis di sekelilingnya. Sebuah pengamatan panjang yang agak melelahkan, sekaligus mengasyikkan. ”Saya juga pernah naksir pada wanita, dan saya juga tahu ada pemandangan yang indah-indah, tetapi saya tidak pernah berani untuk melakukan action!” ujarnya, tertawa lepas.

Tanpa harus memacari mereka, usai merampungkan tugas KKN di kampusnya tahun 1994, Anies akhirnya menyadari siapa gadis terbaik untuknya. Suatu sore yang cerah, Anies memberanikan diri mengajak Fery pergi. Dengan mobil tua orang tuanya, Anies untuk pertama kalinya pergi berduaan dengan seorang gadis.

Malam demikian indah. Lampu yang redup, musik mengalun lembut, dan jamuan lezat, membuat suasana resto tempat pertemuan dua anak muda itu menjadi sangat romantis. Anies berusaha menata kata demi kata, agar bisa terurai dengan indah. Tetapi, ternyata tidak mudah. Meski sudah sangat terbiasa berpidato, tak urung satu dua butir keringat dingin Anies pun mengalir. ”Tidak ada sedikit pun keluar kata-kata cinta malam itu,” tutur Fery.

Anies memulai pembicaraan dengan mengeluarkan selembar kertas yang berisi rencana-rencana hidupnya. Antara lain, tahun sekian ia merampungkan kuliah, dan setelah itu dia akan menikah. Program selanjutnya, ia akan mencari beasiswa untuk meneruskan pendidikan S-2 dan S-3 ke Amerika. Tetapi, tiba-tiba Anies memandang Fery dengan tatapan mesra, sembari berucap lembut, ”Anies ini tertarik sama Fery. Anies ingin hidup bersama Fery.”

Fery diam. Meski sebelumnya sudah memperkirakan ada sesuatu yang ingin dibicarakan sepupunya itu, tak urung wajah Fery sedikit memerah malu. Hatinya berbunga-bunga, tapi Fery tidak mau lepas kendali. ”Gadis mana yang tidak tertarik pada Mas Anies saat itu? Orangnya cakep, terkenal, santun, dan smart. Di senat dia aktif, sering muncul di teve, dan menjadi pembicaraan di antara teman-teman perempuan. Tetapi, kenapa ia justru mendatangi saya?”

BUDAYA IBU

Ada banyak faktor kenapa Anies memilih berlabuh pada Fery. Sejak remaja ia acapkali berinteraksi dengan nenek dan ibunya, tentang peran ideal seorang istri dan bagaimana membangun rumah tangga yang baik. ”Saya berkesimpulan, warna, suasana, budaya, dan kebiasaan di rumah itu ditentukan oleh ibu. Ayah memang punya peran. Tetapi, nyatanya yang mewarnai anak adalah ibu!”

Fery yakin, sebelum berbicara, Anies tentu sudah berpikir lama. Dan, meski cinta telah menyelimuti hatinya, mendadak berbagai pertanyaan menyerang benaknya. ”Sanggupkah saya menemani Mas Anies yang sibuk? Apakah saya dan anak-anak akan mendapat waktu yang cukup? Apakah saya bisa diterima oleh kelompok orang-orang sibuk itu?”

Ibunyalah yang membesarkan hati Fery. ”Anies itu orang baik, pekerja keras, dan santun. Sekarang dia berniat baik. Allah tidak akan menjodohkan kamu, kalau dia memang bukan jodoh kamu. Semua terpulang kepada kamu!”
Kekhawatiran Fery akan dinomorduakan oleh kesibukan Anies, sedikit demi sedikit mulai surut ketika Anies memberikan perhatian yang lebih kepadanya. Dia baru tahu bahwa Anies itu orangnya sangat sabar, telaten, penuh pengertian, dan romantis. ”You are a sweet girl!” seperti itulah cara Anies memuji Fery.

Anies merasa, perasaan cinta itu berbeda dengan nafsu atau sekadar suka. Eksistensi cinta terasa bila jauh menjadi rindu. Walau komitmen keduanya sudah makin bulat, mereka tetap menjaga untuk tidak selalu sering berduaan. Tepatnya, mereka jarang sekali berpacaran. Satu setengah tahun kemudian kedua orang tua Anies melamar Fery. Pada 11 Mei 1996, sejoli yang sama-sama baru pertama kali mengalami saling jatuh cinta ini pun menikah.

Lulus kuliah tahun 1995, Anies kemudian meneruskan pekerjaannya sebagai peneliti dan koordinator proyek di Pusat Antar-Universitas Studi Ekonomi UGM. Tahun 1996, Anies bersama istrinya berangkat ke Amerika untuk melanjutkan pendidikan master di University of Maryland. Lulus sebagai master, ia mendapatkan beasiswa dari Northern Illinois University untuk program doktoral.


NYARIS DITOLAK GADIS PUJAAN

Saat Anies mengungkapkan perasaannya, hati gadis itu berbunga-bunga. Tetapi, kenapa setelah itu si gadis justru sangsi dan khawatir?

IP MINIMAL 3,75
Berbeda saat kuliah di Tanah Air, di Amerika Anies tidak terlalu aktif di organisasi. Ia hanya ikut konferensi di beberapa tempat, seperti di Washington, dan Atlanta. Itu pun saat menjelang akhir kuliah. Maklum, beasiswanya sudah pas-pasan untuk hidup sendiri, sementara ia harus hidup dengan istri dan dua anak.

Meski Fery mendapat beasiswa untuk mengambil program pendidikan master, tak urung uang mereka mepet juga. Karena itu, keluarga kecil ini harus hidup hemat. Berbelanja harus teliti dan sesuai daftar barang yang dibutuhkan. Anies sampai menemukan cara merapikan baju tanpa harus disetrika. Selesai dicuci, baju itu dijemur sedemikian rupa. Sehingga, begitu kering, bentuknya seperti sudah disetrika. Kalau mobil ngambek, ia tidak berani membawa ke bengkel, karena biayanya mahal. Anies pun menjadi montir, sementara onderdil dibeli di tempat penjualan mobil bekas/kiloan.

Tujuan utama mereka berada di Amerika adalah untuk belajar. ”Sekolah di sana tidak mungkin tidak belajar, karena di sana nilai harus tinggi!” tegasnya. ”Kalau IP (indeks prestasi) turun, maka beasiswa bisa dihentikan. Bagi penerima beasiswa, minimal IP-nya harus 3,75. Kalau nilainya kurang dari itu, diberi waktu satu semester untuk memperbaiki. Kalau tidak bisa memperbaiki juga, ya... tidak akan ada maaf lagi! Alhamdulillah... IP saya tidak memalukan. Tetapi, kalau harus diomongin, ya... saru. Pamali,” tuturnya. Setiap minggu Anies paling tidak harus membaca 1.000 sampai 1.500 halaman. Anies merasa sangat beruntung mempunyai kedua orang tua dan kakek yang hobinya membaca. ”Koleksi buku Eyang ada ribuan. Saat beliau wafat, Abah kemudian merapikan dan membuat perpustakaan mini di rumah.”

Tahun 2004, kuliah selesai, tetapi ia tidak bisa pulang karena tidak mempunyai cukup bekal. Anies lalu bekerja di IPC, Inc. Chicago, sebuah asosiasi perusahaan elektronik sedunia. Karena sudah doktor, ia diterima menjadi manajer riset, dengan gaji sekitar 48.000 dolar AS setahun. Tetapi, ternyata uang yang ia terima tidak sebanyak itu, karena harus dipotong pajak, tunjangan hari tua, social security, dan sebagainya.


BEASISWA UNTUK MAHASISWA

Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan ketika dia mendapat tawaran menjadi rektor Universitas Paramadina (UPM), yaitu apakah secara intelektual ia bisa tumbuh, apakah dirinya tetap bisa menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, dan apakah amanat ini mempunyai pengaruh sosial? ”Saya melihat, di kampus Paramadina, saya bisa tumbuh secara intelektual dan posisi itu bisa mendorong saya berbagi kepada masyarakat,” tegasnya.

Tapi, Anies tetap perlu waktu untuk memutuskan tawaran itu. Sebagai direktur riset The Indonesian Institute, penghasilannya jauh melampaui penghasilan sebagai seorang rektor. ”Dari segi income, ini suatu penurunan yang cukup jauh. Saya perlu waktu cukup lama untuk memikirkan hal ini, apakah jalur ini harus saya ambil atau tidak,” tambahnya.

Beruntung Fery tidak mempermasalahkan hal itu. ”Selama dia menyukai dan enjoy dengan pekerjaan itu, urusan penghasilan tidak menjadi masalah!” Fery menjawab.

Tanggal 15 Mei 2007, ketika dilantik sebagai rektor, Anies bertekad menyukseskan program UPM, yaitu menyiapkan generasi masa depan Indonesia. ”Bila ingin mengubah wajah negeri ini, kita harus fokus pada anak muda dan bidang pendidikan. Pendidikan yang terbaik hanyalah di universitas,” katanya.

Sembilan tahun yang lalu, ketika universitas ini didirikan oleh cendekiawan muslim, Prof. Dr. Nurcholish Madjid (alm), Anies masih sebagai mahasiswa pascasarjana di University of Maryland. Saat menghadiri wisuda di Boston, ia terkesan pidato Joseph Nye, Dekan Kennedy School of Government di Harvard University. Menurutnya, salah satu keberhasilan universitasnya adalah ’admit only the best’. Hanya menerima yang terbaik! Dari sinilah ia kemudian menggagas rekrutmen anak-anak terbaik Indonesia.

Sejak itu ia langsung mencanangkan Paramadina Fellowship sebagai Strategi Rekayasa Masa Depan. Anak-anak terbaik itu dibiarkan untuk fokus pada masa depan mereka, dan universitas memfasilitasi melalui beasiswa yang komprehensif. Beasiswa itu meliputi biaya kuliah, buku, dan biaya hidup.

Niat luhur itu tentu bukan seperti membalikkan tangan. Beasiswa yang dirancang itu sangat mahal, yaitu bagi mahasiswa Jabotabek Rp65 juta, dan Rp100 juta untuk mahasiswa dari luar Jabotabek (per tahun 2008). Perhitungannya, Rp20 juta untuk biaya tahun pertama, dan sisanya diinvestasikan. Keuntungan investasi itu bisa mencapai Rp30 juta, dan ini bisa dipakai untuk dana abadi. Anies sadar betapa sulit meyakinkan para calon sponsor beasiswa, karena dunia pendidikan dan bisnis memiliki ’bahasa’ yang berbeda. Anies mempresentasikan idealisme dengan bahasa bisnis. Ia mengadopsi konsep penamaan mahasiswa yang sudah lulus, seperti yang biasa digunakan di banyak universitas di Amerika Utara dan Eropa. Caranya, titel seorang profesor mencantumkan nama sponsor risetnya. Misalnya, jika mahasiswa mendapatkan dana dari Mien R. Uno (seorang pendonor), maka mahasiswa tersebut diwajibkan menggunakan titel Paramadina Mien R. Uno Fellow.

Responsnya sangat luar biasa. ”Dukungan secara pribadi ataupun institusi dari berbagai sektor sungguh mengharukan. Hal ini membuktikan bahwa dunia usaha peduli pada masa depan bangsa.” Donatur yang datang memang beragam: pribadi, lembaga survei, perusahaan media massa, perbankan, sampai jaringan bioskop.

Sambutan calon peserta beasiswa pun sangat luar biasa. Tahun 2008, seleksi di 14 kota di seluruh Indonesia diikuti oleh 1.300 pendaftar. Dari jumlah tersebut akhirnya terpilih 69 lulusan SLTA, yang nantinya diharuskan merampungkan pendidikan maksimal selama empat tahun dengan IP minimal 3. Untuk tahun 2009 ini, UPM menargetkan ada 100 mahasiswa penerima beasiswa, sehingga dengan peserta beasiswa untuk program pascasarjana (di berbagai universitas), jumlah seluruh peserta Paramadina Fellowship adalah hampir 25 persen dari 2.000 jumlah mahasiswa UPM. Sungguh suatu sumbangan Anies yang tidak kecil bagi generasi muda negeri ini.


DIAKUI DUNIA

Anies tidak pernah mengira namanya masuk dalam daftar intelektual dunia versi Foreign Policy (2008). Jurnal berpengaruh terbitan AS ini, rutin menggelar nominasi 100 intelektual dunia, yang kemudian dipilih 20 nominator. Dari 100 orang yang sudah disusun, publik dipersilahkan memilih intelektual terbaik. ”Saya tidak tahu kalau dinominasikan,” katanya. ”Saya baru tahu saat pengumuman itu ditulis. Jadi seluruh informasi tentang saya, mereka cari sendiri tanpa sepengetahuan saya.”

Kriteria daftar bergengsi ini adalah aktivitas publik keintelektualnya, yang tak hanya berpengaruh di dalam negeri, tapi harus melampaui batas negaranya. Komposisi yang terpilih adalah 36 dari Amerika Utara, 30 dari Eropa, 4 dari Amerika Latin, 11 dari Timur Tengah, 4 dari Afrika, 12 dari Asia, dan 3 dari Asia Tenggara dan Oseania.

Anies disejajarkan di antaranya dengan Lee Kuan Yew (menteri mentor Singapura), Al Gore (aktivis lingkungan/mantan Wakil Presiden AS), Francis Fukuyama (ilmuwan AS), Muhammad Yunus (peraih Nobel Perdamaian dari Bangladesh). Sebagai orang yang berobsesi ingin menjadi seorang intelektual berkelas internasional, Anies tentu sangat senang. ”Penominasian ini menunjukkan Indonesia memiliki potensi intelektual yang sama dengan negara lain. Ini bukan hal yang mustahil!” katanya.

Menurut Anies, bangsa Indonesia sudah lama memiliki tradisi intelektual. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Sjahrir,Agus Salim, dan lainnya pernah tersohor di kalangan internasional. ”Saya ingin tokoh-tokoh intelektual kita juga kembali muncul sebagaimana mereka,” tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar