Anies Baswedan adalah
intelektual muda Indonesia yang namanya sudah mendunia dan berwawasan
global. Ia tercatat sebagai penerima penghargaan dari majalah Foreign
Policy sebagai satu dari 100 Intelektual Publik Dunia yang paling
berpengaruh pada bulan April 2008 bersama Noam Chomsky, Al Gore, Francis
Fukuyama, Samuel Huntington, Vaclav Havel, Thomas Friedman, Bernard
Lewis, Lee KuanYew dan pemenang Nobel asal Bangladesh, Muhammad Yunus.
Anies Baswedan lahir
di Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969 berasal dari keluarga intelektual
yang menyimpan tekad untuk turut membangun bangsa melalui jalur
pendidikan, di antaranya dengan mengantarkan Paramadina menjadi
universitas kelas dunia. Kedua orang tua Anies adalah dosen, Rasyid
Baswedan, ayah Anies, pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam
Indonesia, sementara Aliyah Rasyid, ibu Anies, adalah guru besar di
Universitas Negeri Yogyakarta. Riwayat pendidikan Anies yaitu:
- TK Mesjid Syuhada di Kota Baru, Yogyakarta.
- SD Laboratori Yogyakarta.
- SMP Negeri 5 Yogyakarta.
- SMAN 2 Yogyakarta.
- Universitas Gadjah Mada (UGM) (1989-1995).
- Master Bidang International Security and Economic Policy di Universitas Maryland, College Park
- Departemen Ilmu Politik di Universitas Northern Illinois
TEMAN DUDUK YANG SUKA BERANTEM
Meski tidak pernah menjadi juara kelas, ia terdaftar sebagai ’100 Intelektual Publik Dunia’.
Seakan sudah
memperhitungkan waktu, pria muda itu mengakhiri pertemuannya dengan
seorang profesor dari Colorado, Amerika Serikat menjelang kumandang azan
Magrib bergema. Anies Baswedan, Ph.D., pria muda itu, menemui femina,
dan berulang kali meminta maaf atas perubahan-perubahan yang mendadak
tentang jadwal wawancara. ”Maaf, jadwal wawancaranya terpaksa harus
berubah, karena besok pagi saya ada acara lain,” tuturnya, dengan sangat
santun, sambil memohon izin untuk menunaikan salat Magrib.
Kesibukan suami
Fery Farhati Ganis S.Psi, M.Sc. ini memang luar biasa. Rabu pagi itu
misalnya, ia baru saja terbang ke Yogyakarta untuk berceramah di
Festival Film Asia atas undangan sutradara film Garin Nugroho. Setelah
mampir sebentar ke rumah kedua orang tuanya di Jalan Kaliurang, Yogya,
menjelang sore ia sudah harus kembali ke Jakarta.
Sampai di
Bandara Soekarno-Hatta, ia tidak langsung pulang. Karena, ada dua acara
lagi yang menunggunya. Ia baru bisa menginjakkan kaki di rumahnya, di
kawasan Lebak Bulus, sekitar pukul 23.00. Esoknya, pagi-pagi ia harus
bersiap lagi memberikan ceramah ilmiah di Jakarta. Karena itu, wawancara
dengan femina pun terpaksa disisipkan di antara padatnya jadwal. Sambil
menikmati kemacetan yang menyesakkan di sepanjang jalan tol Bandara
Soekarno-Hatta menuju Kampus Universitas Paramadina di Jalan Gatot
Subroto, perbincangan itu berlangsung akrab.
MERASA ’KAYA’ SEJAK KECIL
Sejak bocah,
Anies memang sudah sangat ’sibuk’. Menurut Prof. Dr. Aliyah Rasyid,
ibunda Anies, putra sulungnya itu tergolong anak yang sangat aktif dan
tidak cengeng. ”Dia tidak mau hanya duduk manis dan diam. Akibatnya, ia
sering kali terjatuh. Ia pernah terjatuh di teras rumah, dalam posisi
kepala di bawah dan kaki di atas. Saya langsung berlari mendekatinya
karena khawatir ia gegar otak atau kepalanya terluka. Alhamdulillah...
Anies ternyata tidak apa-apa. Meski jatuhnya sangat keras, Anies tidak
menangis! Wajahnya saja yang kelihatan agak suram, menahan rasa sakit.”
Anies kecil
memang jarang sekali menangis. Ketika tangannya terkena setrika panas
sampai membengkak merah, ia tidak menangis. Padahal, saat itu usianya
baru tiga tahun dan berbicara pun masih cadel. ”Kenapa tanganmu melepuh,
Nak?” tanya ibunya. ”Kena trika,” jawab Anies kecil.
Anies lahir
pada 7 Mei 1969 dengan pertolongan bidan Enny di Kuningan, kota kecil di
bagian utara Jawa Barat, tempat kelahiran ibunya. Drs. A. Rasyid
Baswedan, SU, suami Aliyah. Kemudian mereka memberi nama anak pertamanya
itu, Anies. Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata anis berarti
’tanaman yang banyak tumbuh di kawasan Laut Tengah, buahnya kecil-kecil
dan berbau harum, dipakai sebagai obat atau rempah-rempah’.
Tetapi, menurut
Rasyid, anies artinya ’teman duduk’. Selain melambangkan ketaatan
seorang anak, nama itu juga dimaksudkan untuk mengenang nama kakak
perempuan tercinta Rasyid yang bernama Anisah yang saat itu sudah
meninggal. ”Karena anak saya laki-laki, maka saya beri nama dia Anies.
Lengkapnya Anies Rasyid Baswedan. Semua anak saya, saya sertakan nama
saya dan nama keluarga, yaitu Rasyid dan Baswedan!”
Anies tumbuh
tidak hanya aktif, namun juga lumayan nakal. ”Saat kanak-kanak, saya
tergolong anak yang kurang baik,” akunya jujur. ”Saya sering berantem
dan di antara mereka ada yang saya pukuli sampai berdarah-darah.
Mungkin, di antara mereka banyak yang sebel, sehingga mereka kemudian
mengeroyok saya.”
Saat itu usia
Anies baru sekitar lima tahun dan masih tinggal bersama kakeknya. Anies
dipukuli oleh sekitar lima-enam anak seusianya di lapangan tenis. Aliyah
yang baru pulang dari kampus dan menyaksikan anaknya dipukuli
teman-temannya, malah pura-pura tidak melihat. ”Sebagai ibu, saya tentu
sangat kasihan,” papar Aliyah. ”Tetapi, saya lihat keadaannya tidak
membahayakan, jadi saya biarkan saja. Itu sebagai latihan Anies agar
mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.”
Anies besar di
lingkungan keluarga pejuang yang sederhana, pendidik, dan peka kondisi
sosial. Anies dan keluarganya memang tinggal di rumah kakeknya,
Abdurrachman (AR) Baswedan, seorang jurnalis dan perintis kemerdekaan
yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan (1946) serta anggota
konstituante (Dewan Perwakilan Rakyat). Kedua orang tua Anies adalah
dosen. Rasyid pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia,
sementara Aliyah adalah guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta.
Lingkungan
kehidupan orang-orang pilihan inilah yang membuat Anies merasa ’kaya’
sejak bocah. Dari kakeknya, ia mendapatkan nilai-nilai perjuangan,
kemanusiaan, kejujuran, dan sebagainya. Sepanjang sejarah di Indonesia,
mungkin hanya kakeknyalah tokoh nasional yang hingga akhir hayatnya
tidak mempunyai rumah.
Saat itu,
kakeknya tinggal di Taman Yuwono, kompleks perumahan yang dibangun bagi
para pejuang kemerdekaan. Kompleks yang terletak di Jalan Dagen,
belakang Jalan Malioboro, itu terdiri dari 20 rumah dan sebuah lapangan
tenis yang dibangun oleh Haji Bilal, seorang pengusaha batik di Yogya.
Rumah yang ditinggali oleh kakek Anies ini sebelumnya pernah didiami
oleh Kasman Singodimedjo, M. Natsir, dan M. Roem. Di rumah ’wakaf’
kakeknya itu tidak ada telepon, sepeda motor, apalagi mobil.
Meski Anies
lahir di lingkungan keluarga akademisi, Rasyid dan Aliyah sepakat
membiarkan semua anaknya tumbuh alamiah. Ia tidak memaksakan agar
putra-putrinya bisa membaca dan meng¬hitung lebih dini, misalnya. ”Kami
yakin anak-anak kecil butuhbermain yang produktif dan kreatif. Karena,
dunia bermain pada anak sama dengan dunia bekerja pada orang dewasa.
Itulah yang bakal menjadi bekal kehidupan mereka ke depan,” tutur
Aliyah.
Menurut Aliyah,
Anies baru menangis saat ia me&rengek-rengek minta sekolah.
Awalnya, Aliyah kurang menggubrisnya, karena saat itu usia Anies baru
tiga tahun. Ia pikir, anaknya itu hanya ingin sekolah, karena setiap
hari menyaksikan anak-anak lain yang masuk di sekolah TK Bustanul
Athfal, tidak jauh dari rumah.
Namun, ketika
Anies setiap kali merengek minta dimasukkan ke sekolah, Aliyah berusaha
berkonsultasi dengan Rahayu Haditono, psikolog kenamaan di Yogya.
”Biarkan saja anak Ibu masuk sekolah. Tetapi, kalau tiba-tiba dia ingin
berhenti sekolah, jangan dipaksa sekolah,” saran Rahayu.
Anies pun mulai
sekolah. Setiap hari ia diantar Eyang AR Baswedan. Seperti sudah
diduga, Anies belum sepenuhnya ingin sekolah. Terkadang menggebu-gebu
ingin masuk sekolah, tetapi dalam kesempatan lain tiba-tiba mogok dan
tidak mau masuk sekolah lagi. Menjelang usia lima tahun, barulah ia
kemudian dimasukkan di sekolah TK Mesjid Syuhada di Kota Baru, Yogya.
Setiap hari
Anies diantar-jemput oleh Gimin, tukang becak yang hampir setiap hari
mangkal di dekat rumah kakeknya. ”Selain kami berdua bekerja, kami juga
ingin melatih Anies agar bisa lebih cepat mandiri,” Aliyah memberi
alasan. ”Tetapi, sebenarnya diam-diam saya mengikutinya dari belakang.
Sebagai seorang ibu, saya tidak tega melihat anak usia lima tahun naik
becak sendiri.”
Anies tergolong
pemberani. Saat di TK Syuhada itu, Rasyid pernah menyaksikan anak
sulungnya menonjok teman sekolahnya yang jauh lebih besar. Gara-garanya,
Anies melihat anak besar itu mengejar dan akan memukul seorang anak
yang lebih kecil. Anies langsung mengejar dan mendorong anak besar itu
sampai terjatuh. Ketika anak besar itu bangun dan memandangi Anies
dengan marah, Anies justru balik memandangi anak itu dengan pandangan
yang lebih tajam. Apa yang terjadi? Anak itu ngeloyor pergi, tanpa
berani memandang mata Anies.
BELAJAR ADIL DI MEJA MAKAN
Memasuki usia
enam tahun Anies dimasukkan ke SD Laboratori, salah satu SD negeri
terbaik di Yogya. Aliyah bercerita, hari pertama masuk sekolah, Anies
ngambek, karena belum dibelikan tas sekolah. Akhirnya Aliyah buru-buru
mencarikan tas untuk Anies. Tetapi, setelah mulai masuk di sekolah ini,
Anies kembali berulah. ”Anies sering kali berkelahi, sehingga saya
sering kali dipanggil oleh guru ke sekolah, laporan guru-guru itu saya
terima, tetapi saya merasa berkelahi itu bagian sosialisasi. Selama
tidak membahayakan, saya biarkan saja mereka berkelahi,” kata Aliyah.
Anies berangkat
ke sekolah dibonceng dengan sepeda. Umumnya, anak-anak di sekolah ini
naik sepeda sendiri, diantar dengan mobil pribadi, bus, dibonceng sepeda
motor, atau diantar dengan becak. Rupanya, orang tuanya sengaja
memberikan pekerjaan antar-jemput dengan sepeda itu kepada Puji,
tetangganya, yang saat itu sedang menganggur. Diam-diam, hal itu membuat
Anies kurang pede. ”Saya agak malu. Bagaimana tidak malu kalau saya
satu-satunya murid yang diantar-jemput dengan sepeda?” kilah Anies,
tersenyum.
Beruntung
antar-jemput dengan sepeda itu hanya berlangsung selama dua tahun,
karena memasuki kelas 3, Anies sudah dibelikan sepeda sendiri oleh
ayahnya. Dan, sejak kelas 3 itu, Aliyah tidak pernah lagi diundang guru
ke sekolah. ”Sejak kelas 3, saya tidak pernah berantem lagi,” ujar
Anies.
Meski hidup
sederhana, Anies merasakan kedamaian dan kebahagiaan yang luar biasa
pada keluarganya. Masih terbayang jelas saat ia bersama dengan kedua
adiknya menunggui ayahnya pulang. Mereka berharap ayahnya membawa kotak
makanan, bagian ayahnya dari rapat di kampus.
Di meja makan,
hampir setiap hari ayah dan ibunya membiasakan makan bareng. Di tempat
inilah kedua orang tua Anies acapkali memberikan pendidikan kejujuran,
keadilan, kebersamaan, dengan cara sederhana. Antara lain, kalau saat
itu lauknya telur dadar, maka salah seorang di antara ketiga anaknya
disuruh membagi dengan pisau. Tapi, bagi yang memotong itu, dia harus
mengambil bagiannya paling akhir. Dengan demikian, ia selalu berusaha
memotong telur dadar itu seadil mungkin, sama besar!
Begitu juga
kalau persediaan nasi terbatas, maka salah seorang di antara ketiga anak
itu harus membagi. Seperti juga saat membagi telur, untuk anak yang
membagi nasi itu, dia harus mengambil bagiannya paling belakangan. Di
meja makan ini pula, kedua orang tua Anies membiasakan terjadinya
dialog. Rasyid dan Aliyah membiarkan anaknya mendebat pendapatnya, atau
berbeda pendapat dalam suatu masalah.
Sikap egaliter
inilah yang membuat kedua adik Anies, kalau memanggil dirinya cukup
dengan panggilan Anies, tanpa menambah dengan kata mas, abang, atau
kakak. ”Tapi, tidak dalam masalah agama! Untuk hal yang satu ini, tidak
boleh ada perdebatan. Islam harus menjadi agama keluarga besar kami.
Abah dan Mama lebih menekankan bagaimana kami anak-anaknya menjadi orang
beragama yang baik,” tutur Anies.
Anies sangat
terkesan setiap kali acara Sekaten di Alun-Alun Utara Keraton Yogya dan
Peringatan HUT Kemerdekaan RI di Jalan Malioboro. Untuk menuju ke tempat
dua acara itu mereka cukup berjalan kaki, karena jaraknya tidak jauh.
Setiap kali menyaksikan acara peringatan HUT Kemerdekaan itu, Anies
selalu digendong di atas bahu abahnya. ”Saya suka sekali melihat drum
band,” kenangnya.
”Begitu
terkesannya Anies pada drum band, setelah itu Anies pun mengajak
teman-temannya bermain drum band,” tambah Aliyah. ”Mereka menggunakan
kaleng kosong yang diikatkan ke tubuh mereka dan kemudian mereka pukuli
dengan kayu. Mereka berbaris di lapangan tenis di dekat rumah, seperti
drum band yang mereka tonton di Jalan Malioboro.”
Tidak itu saja.
Ayahnya juga sering kali mengajak dirinya dan kedua adiknya nonton film
ke gedung bioskop. ”Jadi, Abah itu di mata kami seperti teman. Kami
biasanya nonton bareng-bareng berempat ke Mataram Teater, bioskop
terbaik di Yogya saat itu!”
Rasyid
mengungkapkan, kalau ada di antara anak-anaknya yang tanpa sengaja
berbicara tentang suatu judul film, diam-diam ia biasanya lebih dulu
menonton film itu. ”Kalau film itu cukup baik untuk ditonton oleh
anak-anak, barulah saya mengajak mereka untuk menonton.”
Ada cerita unik
ketika Anies akan mengikuti ujian SD. Berbeda dengan kebanyakan orang
tua yang lain, saat anaknya akan menghadapi ujian, mereka umumnya
menganjurkan anaknya tekun belajar. Tetapi, tidak pada Rasyid. Saat esok
hari harus mengikuti ujian akhir SD, ayahnya malah mengajak Anies dan
kedua adiknya makan malam di luar. Kata ayahnya, ”Selama ini kamu sudah
belajar. Itu sudah cukup! Jadi, kamu jangan tegang menghadapi ujian
besok. Daripada kamu belajar malah jadi makin butek pikiranmu, lebih
baik malam ini kita relaks. Yang penting kamu jangan lupa membaca
bismillah!”
BERBAKAT MEMIMPIN
Meski tinggal
hanya sekitar tiga kilometer dari Keraton Ngayogjokarto Hadiningrat,
keluarga Anies berbicara sehari-hari di rumah dengan bahasa Indonesia,
bukan bahasa Jawa. Maklum, Aliyah, ibunda Anies, adalah wanita Sunda
(Kuningan). ”Meski berbicara dengan bahasa Indonesia, tata krama di
rumah tetap gaya Jawa Yogya. Saya dan adik-adik mengerti bahasa Jawa
dari lingkungan, walaupun bukan bahasa Jawa tinggi, atau kromo inggil,”
tutur Anies.
Seperti saat
kanak-kanak, saat sudah mulai sekolah pun, Anies masih tetap saja selalu
’sibuk’. Bersama teman-temannya di Taman Yuwono, ia bermain sepak bola,
mercon, kelereng, petak umpet, layang-layang, dan sebagainya. Ayahnya
juga memasukkan Anies ke sebuah klub sepak bola PS Gama, di Yogya.
Makin besar,
bakat kepemimpinan Anies kian tumbuh. ”Ia cenderung mencari teman yang
usianya rata-rata lebih tua daripada dirinya,” tambah Aliyah.
Ridwan,
adiknya, sangat terkesan ketika kakaknya membentuk kelompok anak-anak
muda (7-15 tahun) kampungnya yang diberi nama Kelabang (Klub Anak
Berkembang). Saat itu usia Anies baru 12 tahun. Mereka kemudian membuat
seragam lengkap dengan tulisan Kelabang dan gambar binatang kelabang
(lipan), dan setelah itu mereka mengadakan berbagai kegiatan olahraga
dan kesenian. ”Karena yang mempunyai inisiatif itu Anies, maka mereka
semua pun sepakat untuk menunjuk Anies sebagai ketuanya,” Ridwan
menambahkan. Salah satu kegiatan Kelabang adalah membuat sekolah sepak
bola. Anies kemudian membuat tulisan di atas papan bertuliskan
Sekretariat Sekolah Sepakbola, yang ia pasang di depan rumah.
Di sekolah,
sikap kepemimpinan Anies juga makin tersemai. Ia beberapa kali dipercaya
oleh teman-temannya menjadi ketua kelas di SD Laboratori Yogya. Oleh
kedua orang tuanya, Anies memang didorong untuk aktif mengikuti kegiatan
di sekolah. ”Dengan aktif berorganisasi, selain akan banyak belajar
bagaimana mengelola manusia, tugas, dan perencanaan, dia juga akan
terbiasa mendengar sesuatu yang tidak enak,” papar Rasyid. ”Di dalam
organisasi mereka bisa berlatih menerima suara-suara yang tajam itu,”
imbuhnya.
Disadari atau
tidak, berbagai aktivitas itu akhirnya agak mengganggu Anies di kelas.
Ia tidak pernah mendapatkan nilai terbaik, walaupun masih masuk dalam
urutan 10 besar di kelasnya. Ayah-ibunya sudah memprediksi hal itu. ”Ia
memang tidak pernah meraih peringkat terbaik, tetapi ia mendapatkan
sesuatu yang nilainya jauh lebih dari nilai di rapor itu!” tegas Rasyid.
Dari tahun ke
tahun sikap kepemimpinannya makin menonjol, sehingga menarik perhatian
para guru di sekolahnya. Itu sebabnya, saat memasuki kelas 5 dan 6 di
sekolah itu, Anies ditunjuk oleh gurunya untuk berpidato saat acara
salat Idul Adha yang diselenggarakan di sekolah. ”Saat itulah untuk
pertama kali saya berpidato di depan orang banyak.” Anies berusaha
merenda masa kecilnya.
MASUK ISTANA TANPA IZIN
Anies yang baru
kelas 2 SMA, nekat menemui Presiden Soeharto dan Ny. Tien Soeharto
tanpa izin. Ia berhasil, meski sebelumnya dimarahi habis-habisan.
Saat duduk di
bangku SMP, Anies bersama Anjang dan tiga orang temannya pernah membuat
panik orang sekampung. Mereka dikira sudah tewas, tenggelam di Selokan
Mataram, sungai yang dibuat oleh Hamengku Buwono IX di zaman penjajahan
Jepang untuk menjaga rakyatnya agar tidak dipaksa sebagai romusa.
Pagi-pagi
sekali, beberapa hari setelah Lebaran, Anies pamit akan mengarungi
sungai yang terletak di sebelah utara kampus UGM Yogya, yang
menghubungkan Sungai Progo dengan Sungai Opak. Mereka akan berlayar dari
Jalan Kaliurang sampai di dekat Candi Prambanan (perbatasan
Klaten-Yogya). Tetapi, hingga sore rombongan anak-anak yang menggunakan
perahu rakitan batang pisang itu ternyata belum juga pulang. Banyak
orang akhirnya berspekulasi, anak-anak itu sudah tenggelam.
Keluarga mereka
tentu sangat cemas, termasuk orang tua Anies. Meski sudah pamit, kedua
orang tua Anies tidak mengira kalau sampai selarut itu Anies belum juga
pulang. Adik Anies, Ridwan, disuruh untuk mencari kakaknya dengan
dibonceng sepeda motor pamannya. Bersama anggota keluarga anak-anak yang
lain, mereka menyusuri sepanjang sungai. Ternyata, Anies dan
teman-temannya masih berada di sungai di dekat Candi Prambanan. Suatu
petualangan yang cukup jauh dan sangat melelahkan!
’HOBI’ MELAYAT PEJUANG
Kalau saja
Anies bersama teman-temannya benar-benar tenggelam di sungai itu, selain
kedua orang tua, adik-adik, dan keluarga besarnya, ada lagi keluarga
yang sangat berduka, yaitu keluarga besar siswa, guru, dan karyawan SMP
Negeri 5 Yogya. Sebagai Ketua Seksi Pengabdian Masyarakat, salah satu
tugas Anies adalah mengabarkan dan mengumpulkan dana kalau ada anggota
keluarga dari siswa, guru, atau karyawan di sekolah itu yang sakit atau
meninggal.
Setiap kali ada
yang mendapat musibah, Anies langsung mendatangi kelas demi kelas di
sekolah itu. Selain mengumumkan adanya musibah ke seluruh kelas (ada 30
kelas), ia juga mengedarkan kotak amal untuk mengumpulkan dana. Setelah
itu, ia memimpin teman-temannya mendatangi keluarga yang sedang terkena
musibah untuk menyampaikan rasa dukacita dan sumbangan. Secara
struktural, jabatan itu seolah tidak penting dalam organisasi siswa
sekolah. Tetapi, pada pelaksanaannya, justru seksi inilah yang paling
aktif.
Tanggung jawab
yang diemban Anies dengan baik ini telah berhasil menempa diri Anies
menjadi lebih dewasa dibanding usia yang sebenarnya. Sebagai anak usia
13 tahun, ia harus berbicara di kelas di depan guru dan puluhan siswa.
Setelah itu, ia harus mewakili sekolah untuk menyampaikan rasa dukacita
dan sekaligus sumbangan.
Semua siswa dan
guru di SMP 5 itu akhirnya mengenal Anies. Saat duduk di bangku kelas
2, ia terpilih sebagai Ketua Panitia Tutup Tahun SMP Negeri 5. Acara
yang diselenggarakan di Gedung Purna Budaya ini diadakan secara
besar-besaran dan megah. Untuk menyukseskan acara itu, ia harus
melibatkan banyak personel. ”Alhamdulillah, acara ini ternyata bisa
berjalan dengan sukses,” katanya.
Setelah dewasa,
Anies baru menyadari, betapa besar manfaat kegiatan di masa remaja itu
bagi kehidupannya saat ini. Selain menjadi lancar berbicara di depan
banyak orang, ia makin peka setiap kali ada kabar kematian. Saat Sultan
Hamengku Buwono IX meninggal, ratusan ribu pelayat memenuhi alun-alun
utara Yogya. Tetapi, Anies ingin sekali melayat dan bisa memasuki
Sitihinggil, tempat jenazah orang nomor satu di Yogya itu disemayamkan.
Bersama Ridwan,
Anies berusaha menjebol barikade lautan manusia yang meluber di seluruh
alun-alun sampai kantor pos. Anies mengekor di belakang Ridwan yang
bertubuh lebih besar, yang terus meringsek masuk. Usahanya tidak
sia-sia. Anies dan Ridwan berhasil sampai di Sitihinggil, meski dengan
sangat susah payah. Perjalanan dari kantor pos menuju Sitihinggil yang
hanya berjarak sekitar dua kilometer, harus ditempuh selama lebih dari
empat jam! ”Hati saya plong, bisa ikut menyalatkan almarhum.”
’Hobi’ melayat
para tokoh pejuang ini menjadi kebiasaannya hingga kini, meski ia
sendiri secara pribadi tidak mengenal tokoh itu maupun keluarganya.
”Mungkin, karena saya sangat hobi membaca biografi, saya memiliki rasa
hormat pada para pejuang. Jadi, kalau mereka pulang ke pangkuan Ilahi,
saya merasa harus mengantar,” tuturnya, tulus. ”Saat Kiai Ali Maksum,
pimpinan Pondok Pesantren Krapyak, meninggal dunia, saya jalan kaki
cukup jauh dari Krapyak sampai ke tempat pemakamannya di Jalan Bantul,
Yogyakarta.”
Dan, setiap
kali Anies menghadiri pemakaman para tokoh itu, ia seakan sedang
menyaksikan betapa besar akumulasi pahala para tokoh itu. ”Kalau dia
tidak banyak berbuat untuk tanah air, bangsa, atau agamanya, mana
mungkin kepulangan mereka diantar begitu banyak orang?”
BELAJAR KELUHURAN BUDI DARI SANG AYAH
Seperti
anak-anak yang lain, semasa bocah, Anies juga banyak bermain. Sepulang
sekolah, Anies tidak langsung pulang ke rumah. Bersama teman-temannya,
ia sering kali mengadakan penjelajahan, yaitu bersepeda menuju
tempat-tempat baru. Tempat-tempat itu umumnya daerah pedesaan yang masih
seperti hutan, yang terkadang masih ada ular maupun binatang buas lain.
”Karena, saya sangat terkesan pada film Tarzan,” ujarnya, tersenyum.
Saat kelas 2
SMP, Anies sempat ditangkap polisi lalu lintas karena melanggar rambu
lalu lintas saat mengendarai sepeda motor. Repotnya lagi, ia belum
mempunyai SIM (surat izin mengemudi). ”Mak nyes... begitu perasaan saya
ketika polisi menyetop. Saya tegang dan ketakutan luar biasa, karena
seumur-umur saya tidak pernah melanggar aturan dan berurusan dengan
polisi,” katanya, polos.
Anies dibawa ke
Kantor Polisi Gondomanan. Sepeda motornya disuruh ditinggalkan di situ,
dan ia pulang naik becak. Dengan penuh rasa berdosa, ia melaporkan
semua kejadian tersebut kepada ayahnya. Di luar dugaan, sang ayah sama
sekali tidak menunjukkan ekspresi kemarahan. ”Oya, ada apa?” kata
ayahnya, datar saja menanggapi persoalan tersebut.
Esoknya, Anies
diajak ke kantor polisi oleh ayahnya. Di kantor polisi, ayahnya langsung
masuk, sementara Anies disuruh duduk menunggu di ruang depan. Ayahnya
keluar dari ruang kantor itu dengan membawa STNK dan membawa pulang
motor Vespa itu. Anies terkesan sekali pada sikap ayahnya itu. ”Saya
sadar, saya melakukan kesalahan. Tetapi, saya tidak dimarahi, malah
justru dibela. Di sinilah saya merasa, betapa Abah sangat menyayangi dan
melindungi kami, anak-anaknya!”
Sikap itulah
yang membuat Anies makin hormat, segan, dan tunduk kepada ayahnya.
Baginya, hukuman tanpa hukuman itu justru membuatnya makin takut untuk
berbuat kesalahan. Tetapi, entah kenapa, nasib sial itu kembali
menghampiri Anies di jalanan.
Saat kelas 3
SMP, ia mengendarai Vespa-nya di Jalan Kaliurang, berboncengan dengan
Anjang. Ia tahu, beberapa meter di depannya ada seseorang naik sepeda,
sehingga ia pun berusaha mengambil posisi lebih ke kanan. Tetapi, ketika
motor Anies tepat berada di kanan sepeda itu, mendadak sekali
pengendara sepeda iseng membelak-belokkan alat kemudinya.
Karena
kecepatannya agak tinggi, Anies tak sempat lagi menghindar dari
pengendara sepeda yang sedang bermain-main di jalanan itu. Tabrakan
keras pun tak terhindarkan. Pengendara sepeda terpelanting dan pingsan,
sementara Anies terjatuh dan menderita luka-luka, tangannya bengkak dan
tak bisa digerakkan.
Lagi-lagi Anies
menemukan keluhuran budi ayah-bundanya. Saat menjenguk Anies maupun
pengendara sepeda itu di RS Sardjito, sikap ayahnya tetap saja sangat
menyejukkan. Ayah-ibunya sama sekali tidak panik dan tidak membicarakan
masalah tabrakan itu. Mereka hanya menanyakan apakah Anies pusing,
telinganya keluar darah atau tidak, dan bagian mana saja dari tubuh
Anies yang sakit. ”Saat saya melakukan dua kesalahan yang sangat fatal,
ngebut dan menabrak orang sampai pingsan, Abah sama sekali tidak
memarahi saya sedikit pun!”
MASUK ISTANA TANPA IZIN
Anies yang baru
kelas 2 SMA, nekat menemui Presiden Soeharto dan Ny. Tien Soeharto
tanpa izin. Ia berhasil, meski sebelumnya dimarahi habis-habisan.
KETUA OSIS SE-INDONESIA
Lulus SMP,
Anies mendaftarkan diri ke SMA Negeri 2 Yogya. Lagi-lagi ia tak bisa
lepas dari aktivitas organisasi di sekolah barunya itu. Beberapa bulan
setelah ikut aktif di OSIS, ada pemilihan ketua OSIS yang baru. Saat itu
ada empat calon ketua, satu orang dari kelas 1, dua orang dari kelas 2,
dan seorang lagi dari kelas 3.
Anies, yang
baru tiga bulan bersekolah di tempat itu, terpilih sebagai calon ketua
yang diajukan dari kelas 1. Ia harus bertarung melawan tiga calon ketua
dari kelas 2 dan 3. Pemilihan itu diselenggarakan secara langsung dan
setiap calon ketua harus berpidato, mengajukan gagasan dan programnya
masing-masing di hadapan seluruh siswa. ”Saya berhasil menjadi
pemenangnya, dengan selisih kemenangan yang cukup besar,” ujarnya, tanpa
maksud menyombong. ”Tetapi, kemenangan itu akhirnya dianulir oleh para
guru dan pimpinan sekolah. Dalam sejarah sekolah itu, belum pernah ada
anak kelas 1 menjadi ketua OSIS.”
Akhirnya
diputuskan, pemenang urutan kedua adalah Novi, sis¬wi kelas 2, yang
menjadi ketua OSIS yang baru. Anies ditunjuk sebagai wakil ketua. ”Tahu
tidak, saya tadi siang berjumpa mantan ketua OSIS itu di pesawat. Dia
sekarang menjadi dosen di UGM,” kata Anies, sembari tertawa lepas.
September 1985,
sebagai wakil ketua OSIS SMAN 2, Anies di¬tunjuk oleh sekolah untuk
mengikuti pelatihan kepemimpinan di Jakarta. Acara ini sesungguhnya
diperuntukkan bagi para ketua OSIS SMA dari seluruh Indonesia. Dari
Yogya ada 10 delegasi, dan jumlah peserta dari seluruh Indonesia
mencapai 300 orang yang diinapkan di sebuah hotel di Jakarta Selatan.
Agar acara pelatihan berjalan lancar, maka ditunjuklah seorang ketua
untuk memimpin acara itu. Hebatnya, meski Anies hanya sebagai wakil
ketua OSIS dan masih kelas 1, ia terpilih sebagai ketua OSIS SMA
se-Indonesia yang umumnya siswa kelas 2 dan 3.
Dalam forum
inilah Anies merasa sikap kepemimpinannya benar-benar diuji. ”Bayangkan,
di sini saya harus memimpin ratusan anak, yang hampir semua di antara
mereka adalah anak-anak pilihan, yang semuanya merasa bahwa diri mereka
adalah seorang pimpinan di sekolah mereka. Saya benar-benar diuji,
sehingga saya harus banyak bernegosiasi, berbicara, persuasif, dan
berbagai cara lain sehingga forum itu bisa berjalan dengan baik dan
suasananya hidup!”
Pengalaman ini
sangat berkesan pada diri Anies. Selain terpilih sebagai ketua, di
tempat ini pula ia bertemu dengan Menteri Pendidikan, Prof. Dr. Fuad
Hasan. ”Saya bangga sekali bisa bertemu dengan Pak Menteri,” paparnya,
dengan wajah berbinar. ”Sebagai anak Yogya, orang pelosok, yang datang
ke Jakarta dan bisa berjabat tangan dengan Pak Menteri, wah... saya
seperti sedang mimpi. Foto dengan Pak Menteri itu saya bawa pulang ke
Yogya dan saya ceritakan kepada semua orang, bahwa saya bertemu dan
berjabat tangan dengan Pak Menteri yang ramah dan hangat itu.”
GEGAR BUDAYA SEPULANG DARI AS
Meski sangat
sibuk berorganisasi, Anies masih berhasil naik ke kelas 2, tahun 1986.
Seperti saat di SD maupun SMP, prestasi akademi Anies memang bukan yang
terbaik, walaupun tetap di atas rata-rata. Namun, dengan kesukaannya
membaca dan mempelajari bahasa Inggris, Anies berhasil terpilih menjadi
peserta AFS, program pertukaran pelajar siswa Indonesia-Amerika, tahun
1987.
Selama satu
tahun Anies tinggal di rumah sebuah keluarga di Milwaukee, Wisconsin,
Amerika Serikat. Untuk mengikuti pemilihan tidaklah mudah, karena harus
mengikuti berbagai tes. Dari Yogya hanya dua anak, yaitu Anies dan Rina,
siswi SMA Muhammadiyah 1.
Tinggal di
negara superpower itu, Anies mengaku mengalami gegar budaya yang sangat
dahsyat. ”Saya mengalami gegar budaya yang luar biasa hebat. Jangankan
ke Amerika, ke Jakarta saja saya masih terkagum-kagum. Kepergian saya ke
Amerika itu membawa efek yang besar bagi kehidupan saya, dan membuka
cakrawala yang sangat besar. Cara berpikir saya menjadi lebih global.”
Efeknya, Anies
merasakan pergeseran yang luar biasa pada pemikiran-pemikirannya saat
masuk kembali ke SMAN 2 tahun 1988. ”Saya merasakan banyak kejanggalan
dan ketidakadilan di sekeliling saya! Mendadak muncul
pemberontakan-pemberontakan. Di sekolah, saya merasakan banyak aturan
yang tidak masuk akal, pelajaran membosankan, guru yang tidak mau diajak
dialog, dan teman pun jarang yang sejalan.”
Beruntung Anies
memiliki seorang ibu yang penuh pengertian. ”Ini adalah realitas dari
Republik ini. Hiduplah dengan keadaan itu, dan perjuangkan agar terjadi
perubahan. Tetapi, jangan sekali-kali nyempal. Jangan menarik diri!”
kata sang ibu setiap kali putra sulungnya memprotes sesuatu di
lingkungannya.
Aliyah sadar,
putranya itu tengah mengalami guncangan pemikiran yang luar biasa. Ia
berusaha menghadapi putranya itu dengan sikap keibuan. Kesibukannya
sebagai Guru Besar Universitas Negeri Yogya, ia kurangi agar bisa lebih
fokus menangani putranya.
”Banyak acara
penting yang sengaja saya batalkan demi mendampingi Anies yang batinnya
tengah bergolak. Ia tiba-tiba menjadi sangat tidak nyaman di
lingkungannya sehingga ingin berontak. Mendadak ia benci pada
sekolahnya, karena keadaan sekolahnya sangat berbeda dengan di Amerika.
Syukurlah, Anies itu anaknya terbuka, sehingga semua permasalahan dia
bicarakan dengan saya,” cerita Aliyah.
Rasyid
menambahkan, anak sulungnya itu akan langsung melawan kalau diperlakukan
tidak adil. Suatu hari, ia membuat SIM ke kantor polisi. Saat ia harus
membayar dokter, blanko formulir, dan berbagai persyaratan lain, ia
tidak berontak karena semua itu disertai dengan kuitansi. Tetapi, ketika
akan mengambil SIM yang sudah jadi, tiba-tiba ia diharuskan memasukkan
uang ke kotak oleh petugas di situ. Anies menolak karena petugas itu
tidak mau memberikan kuitansi. Dia diancam tidak akan mendapatkan SIM.
Anies tidak mau
diperlakukan tidak adil seperti itu. Ia meng¬hadap komandan bagian
pembuatan SIM, dan melaporkan tindakan petugas itu. Apa yang terjadi?
Sang komandan bukan hanya menerima pengaduan Anies, tetapi juga
mengambilkan SIM-nya.
DIMARAHI STAF PRESIDEN
’Kekayaan’
Anies meningkat lagi ketika bulan Januari 1989 TVRI Yogya pimpinan
Ishadi SK membuat acara yang bernama Tanah Merdeka. Acara ini merekrut
anak-anak muda di Yogya untuk mewawancarai tokoh-tokoh nasional. Anies
termasuk salah satunya. Dari sinilah kekayaan batin Anies dari hari ke
hari terus bertambah. Selain meningkatkan diri di bidang ilmu
jurnalistik, Anies juga bisa banyak belajar dari kehidupan orang-orang
besar.
Satu per satu
tokoh nasional ia datangi dan ia wawancarai. Antara lain, Sultan
Hamengku Buwono IX, Tien Soeharto, Sudomo, WS Rendra, Emil Salim, Taufiq
Ismail, dan masih banyak lagi. Namun, tidak semua program berjalan
mulus. Suatu hari Anies bersama teman-temannya ’kena batunya’. Ketika
Presiden Soeharto meresmikan Muktamar Nahdlatul Ulama di Pondok
Pesantren Krapyak di Yogya, Anies bersama timnya bermaksud mewawancarai.
Tanpa sepengetahuan pimpinan, mereka berangkat dengan mobil TVRI Yogya,
dilengkapi kamera, menuju ke Gedung Agung tempat Presiden Soeharto dan
para menteri menginap, lewat pintu belakang istana. Karena mobil itu
berlogo TVRI Yogya, meski belum ada janji, mereka boleh masuk.
Namun, apa yang
terjadi? Begitu mendatangi kepala rumah tangga kepresidenan dan memohon
izin untuk bisa mewawancarai Presiden Soeharto, Anies dan
teman-temannya dimarahi habis-habisan. ”Apa-apaan ini? Tidak ada
wawancara dengan Presiden!” kata staf kepresidenan itu penuh kemarahan.
Tetapi, dengan sikap tenang, Anies dan teman-temannya memberikan
pengertian kepada pejabat tersebut. Setelah berdialog hampir satu jam,
pejabat tersebut akhirnya bisa mengerti. ”Saya janjikan kalian bisa
wawancara dengan Pak Harto, tetapi tidak sekarang,” katanya.
Malam itu
mereka kemudian dipertemukan dengan Presiden Soeharto dan Ibu Tien
Soeharto, tetapi hanya sekadar bertegur sapa. ”Sekarang Bapak capai.
Nanti kapan-kapan di Jakarta saja, ya, Anak-Anak...,” kata Ibu Tien,
ramah. Meski demikian, Anies bersama teman-temannya tidak pulang dengan
tangan hampa. ”Sekarang, kalau kalian ingin wawancara dengan pejabat
siapa pun, saya akan bawa kemari. Silakan mau pilih menteri siapa,”
lanjut kepala rumah tangga kepresidenan itu.
Dalam waktu
hampir bersamaan, Laksamana (Pur) Sudomo, saat itu menjabat sebagai
Menteri Koperasi, melintas di tempat duduk mereka. Anies pun spontan
meminta tolong kepada kepala rumah tangga kepresidenan untuk bisa
mewawancarai mantan Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Ketertiban
dan Keamanan) yang sangat disegani itu. ”Dom... Dom, iki bocah-bocah
soko TVRI Yogya pengin ketemu awakmu (ini anak-anak TVRI Yogya ingin
bertemu kamu)!”
Saat ia bersama
timnya dari Yogya berangkat ke Jakarta, Presiden Soeharto ternyata
tengah berada di luar kota. Kepala rumah tangga kepresidenan kemudian
menawari Anies untuk mewawancarai Ibu Tien Soeharto. Anies setuju. ”Saat
Ibu Tien wafat, rekaman wawancara saya itulah yang berulang kali
diputar ulang di TVRI Pusat Jakarta. Rupanya, tidak ada wawancara lain
yang cukup panjang,” kenangnya.
NYARIS DITOLAK GADIS PUJAAN
Saat Anies
mengungkapkan perasaannya, hati gadis itu berbunga-bunga. Tetapi, kenapa
setelah itu si gadis justru sangsi dan khawatir?
Sibuk dan
sibuk. Itulah kekhawatiran utama Fery Farhati Ganis S.Psi, M.Sc., yang
saat itu masih menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gajah
Mada, saat ’dilamar’ oleh Anies di sebuah resto di Yogyakarta.
Kekhawatiran Fery itu akhirnya menjadi realitas kehidupan Anies, yang
kini telah menjadi suami dan memberinya empat anak, Mutiara Annisa (12),
Mikail Azizi (9), Kaisar Hakam (4), Ismail Hakim (4 bln).
Saat femina
datang pada hari Sabtu, hari pertama puasa, Anies tidak libur juga.
Pagi-pagi ia sudah menerima PBS (Public Broadcasting Station). Stasiun
televisi Amerika ini memiliki program 30 menit yang digemari masyarakat
Amerika Serikat yang dibawakan oleh Jim Lehrer, moderator langganan
acara Debat Calon Presiden Amerika. Anies diwawancara untuk topik
tentang Indonesia, Islam, dan Demokrasi.
Di tengah
wawancara yang ia sambi melayani putra-putrinya dan diramaikan kicau 10
burung di rumahnya di kawasan Lebak Bulus, ponselnya beberapa kali
berdering. Anies seakan lupa, ia nyaris ditolak oleh wanita yang untuk
pertama kali mengisi relung hatinya itu, karena kesibukan yang terus
menderanya.
JATUH CINTA PADA SEPUPU
Kisah cinta
antara Anies dan Fery agak unik. Dua sejoli ini sesungguhnya sudah
saling mengenal sejak kecil, karena masih ada hubungan keluarga. Fery
yang dilahirkan di Kuningan itu adalah keponakan Aliyah, ibunda Anies.
Tahun 1989, ketika keduanya diterima sebagai mahasiswa UGM, keduanya
sudah sering kali bertemu dan mengobrol. Tempat kos Fery pun
berseberangan dengan rumah orang tua Anies. Tapi, entah kenapa, hati
Anies belum juga terusik melihat kecantikan sepupunya itu. Mata Anies
masih terus berusaha menelisik gadis-gadis yang berseliweran di
sekitarnya.
Sebagai pemuda
tampan, terkenal, dan pandai, sejak SMA Anies banyak digandrungi
gadis-gadis. Entah sudah ada berapa surat cinta yang menyelinap di saku
atau tas sekolahnya. Tetapi, semuanya dibiarkan lewat begitu saja. Anies
bukan tidak ingin menikmati masa mudanya itu bersama gadis-gadis cantik
di sekitarnya. Namun, ia selalu ingat pesan ayahnya, ”Jangan coba-coba
memulai sesuatu, kalau kemudian hanya ingin mengakhiri!”
Pesan itu
sepintas terasa sangat sederhana. Namun, kalau diresapi, maknanya begitu
dalam. ”Saya juga ingin punya pacar. Tetapi, karena tidak ada
keberanian untuk memulai dan main-main, maka saya memilih untuk tidak
pacaran. Saya menyadari, Yogya itu kota kecil. Kalau saya sampai pacaran
atau berbuat sesuatu yang agak miring, maka seluruh orang Yogya akan
mengetahuinya,” katanya. Akhirnya Anies memutuskan untuk tidak berpikir
tentang wanita sampai ia menyelesaikan kuliah di UGM.
Namun, bukan
berarti Anies lalu mengenakan kacamata kuda. Ia terus mengamati
gadis-gadis di sekelilingnya. Sebuah pengamatan panjang yang agak
melelahkan, sekaligus mengasyikkan. ”Saya juga pernah naksir pada
wanita, dan saya juga tahu ada pemandangan yang indah-indah, tetapi saya
tidak pernah berani untuk melakukan action!” ujarnya, tertawa lepas.
Tanpa harus
memacari mereka, usai merampungkan tugas KKN di kampusnya tahun 1994,
Anies akhirnya menyadari siapa gadis terbaik untuknya. Suatu sore yang
cerah, Anies memberanikan diri mengajak Fery pergi. Dengan mobil tua
orang tuanya, Anies untuk pertama kalinya pergi berduaan dengan seorang
gadis.
Malam demikian
indah. Lampu yang redup, musik mengalun lembut, dan jamuan lezat,
membuat suasana resto tempat pertemuan dua anak muda itu menjadi sangat
romantis. Anies berusaha menata kata demi kata, agar bisa terurai dengan
indah. Tetapi, ternyata tidak mudah. Meski sudah sangat terbiasa
berpidato, tak urung satu dua butir keringat dingin Anies pun mengalir.
”Tidak ada sedikit pun keluar kata-kata cinta malam itu,” tutur Fery.
Anies memulai
pembicaraan dengan mengeluarkan selembar kertas yang berisi
rencana-rencana hidupnya. Antara lain, tahun sekian ia merampungkan
kuliah, dan setelah itu dia akan menikah. Program selanjutnya, ia akan
mencari beasiswa untuk meneruskan pendidikan S-2 dan S-3 ke Amerika.
Tetapi, tiba-tiba Anies memandang Fery dengan tatapan mesra, sembari
berucap lembut, ”Anies ini tertarik sama Fery. Anies ingin hidup bersama
Fery.”
Fery diam.
Meski sebelumnya sudah memperkirakan ada sesuatu yang ingin dibicarakan
sepupunya itu, tak urung wajah Fery sedikit memerah malu. Hatinya
berbunga-bunga, tapi Fery tidak mau lepas kendali. ”Gadis mana yang
tidak tertarik pada Mas Anies saat itu? Orangnya cakep, terkenal,
santun, dan smart. Di senat dia aktif, sering muncul di teve, dan
menjadi pembicaraan di antara teman-teman perempuan. Tetapi, kenapa ia
justru mendatangi saya?”
BUDAYA IBU
Ada banyak
faktor kenapa Anies memilih berlabuh pada Fery. Sejak remaja ia acapkali
berinteraksi dengan nenek dan ibunya, tentang peran ideal seorang istri
dan bagaimana membangun rumah tangga yang baik. ”Saya berkesimpulan,
warna, suasana, budaya, dan kebiasaan di rumah itu ditentukan oleh ibu.
Ayah memang punya peran. Tetapi, nyatanya yang mewarnai anak adalah
ibu!”
Fery yakin,
sebelum berbicara, Anies tentu sudah berpikir lama. Dan, meski cinta
telah menyelimuti hatinya, mendadak berbagai pertanyaan menyerang
benaknya. ”Sanggupkah saya menemani Mas Anies yang sibuk? Apakah saya
dan anak-anak akan mendapat waktu yang cukup? Apakah saya bisa diterima
oleh kelompok orang-orang sibuk itu?”
Ibunyalah yang
membesarkan hati Fery. ”Anies itu orang baik, pekerja keras, dan santun.
Sekarang dia berniat baik. Allah tidak akan menjodohkan kamu, kalau dia
memang bukan jodoh kamu. Semua terpulang kepada kamu!”
Kekhawatiran
Fery akan dinomorduakan oleh kesibukan Anies, sedikit demi sedikit mulai
surut ketika Anies memberikan perhatian yang lebih kepadanya. Dia baru
tahu bahwa Anies itu orangnya sangat sabar, telaten, penuh pengertian,
dan romantis. ”You are a sweet girl!” seperti itulah cara Anies memuji
Fery.
Anies merasa,
perasaan cinta itu berbeda dengan nafsu atau sekadar suka. Eksistensi
cinta terasa bila jauh menjadi rindu. Walau komitmen keduanya sudah
makin bulat, mereka tetap menjaga untuk tidak selalu sering berduaan.
Tepatnya, mereka jarang sekali berpacaran. Satu setengah tahun kemudian
kedua orang tua Anies melamar Fery. Pada 11 Mei 1996, sejoli yang
sama-sama baru pertama kali mengalami saling jatuh cinta ini pun
menikah.
Lulus kuliah
tahun 1995, Anies kemudian meneruskan pekerjaannya sebagai peneliti dan
koordinator proyek di Pusat Antar-Universitas Studi Ekonomi UGM. Tahun
1996, Anies bersama istrinya berangkat ke Amerika untuk melanjutkan
pendidikan master di University of Maryland. Lulus sebagai master, ia
mendapatkan beasiswa dari Northern Illinois University untuk program
doktoral.
NYARIS DITOLAK GADIS PUJAAN
Saat Anies
mengungkapkan perasaannya, hati gadis itu berbunga-bunga. Tetapi, kenapa
setelah itu si gadis justru sangsi dan khawatir?
IP MINIMAL 3,75
Berbeda saat
kuliah di Tanah Air, di Amerika Anies tidak terlalu aktif di organisasi.
Ia hanya ikut konferensi di beberapa tempat, seperti di Washington, dan
Atlanta. Itu pun saat menjelang akhir kuliah. Maklum, beasiswanya sudah
pas-pasan untuk hidup sendiri, sementara ia harus hidup dengan istri
dan dua anak.
Meski Fery
mendapat beasiswa untuk mengambil program pendidikan master, tak urung
uang mereka mepet juga. Karena itu, keluarga kecil ini harus hidup
hemat. Berbelanja harus teliti dan sesuai daftar barang yang dibutuhkan.
Anies sampai menemukan cara merapikan baju tanpa harus disetrika.
Selesai dicuci, baju itu dijemur sedemikian rupa. Sehingga, begitu
kering, bentuknya seperti sudah disetrika. Kalau mobil ngambek, ia tidak
berani membawa ke bengkel, karena biayanya mahal. Anies pun menjadi
montir, sementara onderdil dibeli di tempat penjualan mobil
bekas/kiloan.
Tujuan utama
mereka berada di Amerika adalah untuk belajar. ”Sekolah di sana tidak
mungkin tidak belajar, karena di sana nilai harus tinggi!” tegasnya.
”Kalau IP (indeks prestasi) turun, maka beasiswa bisa dihentikan. Bagi
penerima beasiswa, minimal IP-nya harus 3,75. Kalau nilainya kurang dari
itu, diberi waktu satu semester untuk memperbaiki. Kalau tidak bisa
memperbaiki juga, ya... tidak akan ada maaf lagi! Alhamdulillah... IP
saya tidak memalukan. Tetapi, kalau harus diomongin, ya... saru.
Pamali,” tuturnya. Setiap minggu Anies paling tidak harus membaca 1.000
sampai 1.500 halaman. Anies merasa sangat beruntung mempunyai kedua
orang tua dan kakek yang hobinya membaca. ”Koleksi buku Eyang ada
ribuan. Saat beliau wafat, Abah kemudian merapikan dan membuat
perpustakaan mini di rumah.”
Tahun 2004,
kuliah selesai, tetapi ia tidak bisa pulang karena tidak mempunyai cukup
bekal. Anies lalu bekerja di IPC, Inc. Chicago, sebuah asosiasi
perusahaan elektronik sedunia. Karena sudah doktor, ia diterima menjadi
manajer riset, dengan gaji sekitar 48.000 dolar AS setahun. Tetapi,
ternyata uang yang ia terima tidak sebanyak itu, karena harus dipotong
pajak, tunjangan hari tua, social security, dan sebagainya.
BEASISWA UNTUK MAHASISWA
Ada tiga hal
yang menjadi pertimbangan ketika dia mendapat tawaran menjadi rektor
Universitas Paramadina (UPM), yaitu apakah secara intelektual ia bisa
tumbuh, apakah dirinya tetap bisa menjalankan tanggung jawabnya sebagai
kepala rumah tangga, dan apakah amanat ini mempunyai pengaruh sosial?
”Saya melihat, di kampus Paramadina, saya bisa tumbuh secara intelektual
dan posisi itu bisa mendorong saya berbagi kepada masyarakat,”
tegasnya.
Tapi, Anies
tetap perlu waktu untuk memutuskan tawaran itu. Sebagai direktur riset
The Indonesian Institute, penghasilannya jauh melampaui penghasilan
sebagai seorang rektor. ”Dari segi income, ini suatu penurunan yang
cukup jauh. Saya perlu waktu cukup lama untuk memikirkan hal ini, apakah
jalur ini harus saya ambil atau tidak,” tambahnya.
Beruntung Fery
tidak mempermasalahkan hal itu. ”Selama dia menyukai dan enjoy dengan
pekerjaan itu, urusan penghasilan tidak menjadi masalah!” Fery menjawab.
Tanggal 15 Mei
2007, ketika dilantik sebagai rektor, Anies bertekad menyukseskan
program UPM, yaitu menyiapkan generasi masa depan Indonesia. ”Bila ingin
mengubah wajah negeri ini, kita harus fokus pada anak muda dan bidang
pendidikan. Pendidikan yang terbaik hanyalah di universitas,” katanya.
Sembilan tahun
yang lalu, ketika universitas ini didirikan oleh cendekiawan muslim,
Prof. Dr. Nurcholish Madjid (alm), Anies masih sebagai mahasiswa
pascasarjana di University of Maryland. Saat menghadiri wisuda di
Boston, ia terkesan pidato Joseph Nye, Dekan Kennedy School of
Government di Harvard University. Menurutnya, salah satu keberhasilan
universitasnya adalah ’admit only the best’. Hanya menerima yang
terbaik! Dari sinilah ia kemudian menggagas rekrutmen anak-anak terbaik
Indonesia.
Sejak itu ia
langsung mencanangkan Paramadina Fellowship sebagai Strategi Rekayasa
Masa Depan. Anak-anak terbaik itu dibiarkan untuk fokus pada masa depan
mereka, dan universitas memfasilitasi melalui beasiswa yang
komprehensif. Beasiswa itu meliputi biaya kuliah, buku, dan biaya hidup.
Niat luhur itu
tentu bukan seperti membalikkan tangan. Beasiswa yang dirancang itu
sangat mahal, yaitu bagi mahasiswa Jabotabek Rp65 juta, dan Rp100 juta
untuk mahasiswa dari luar Jabotabek (per tahun 2008). Perhitungannya,
Rp20 juta untuk biaya tahun pertama, dan sisanya diinvestasikan.
Keuntungan investasi itu bisa mencapai Rp30 juta, dan ini bisa dipakai
untuk dana abadi. Anies sadar betapa sulit meyakinkan para calon sponsor
beasiswa, karena dunia pendidikan dan bisnis memiliki ’bahasa’ yang
berbeda. Anies mempresentasikan idealisme dengan bahasa bisnis. Ia
mengadopsi konsep penamaan mahasiswa yang sudah lulus, seperti yang
biasa digunakan di banyak universitas di Amerika Utara dan Eropa.
Caranya, titel seorang profesor mencantumkan nama sponsor risetnya.
Misalnya, jika mahasiswa mendapatkan dana dari Mien R. Uno (seorang
pendonor), maka mahasiswa tersebut diwajibkan menggunakan titel
Paramadina Mien R. Uno Fellow.
Responsnya
sangat luar biasa. ”Dukungan secara pribadi ataupun institusi dari
berbagai sektor sungguh mengharukan. Hal ini membuktikan bahwa dunia
usaha peduli pada masa depan bangsa.” Donatur yang datang memang
beragam: pribadi, lembaga survei, perusahaan media massa, perbankan,
sampai jaringan bioskop.
Sambutan calon
peserta beasiswa pun sangat luar biasa. Tahun 2008, seleksi di 14 kota
di seluruh Indonesia diikuti oleh 1.300 pendaftar. Dari jumlah tersebut
akhirnya terpilih 69 lulusan SLTA, yang nantinya diharuskan merampungkan
pendidikan maksimal selama empat tahun dengan IP minimal 3. Untuk tahun
2009 ini, UPM menargetkan ada 100 mahasiswa penerima beasiswa, sehingga
dengan peserta beasiswa untuk program pascasarjana (di berbagai
universitas), jumlah seluruh peserta Paramadina Fellowship adalah hampir
25 persen dari 2.000 jumlah mahasiswa UPM. Sungguh suatu sumbangan
Anies yang tidak kecil bagi generasi muda negeri ini.
Anies tidak
pernah mengira namanya masuk dalam daftar intelektual dunia versi
Foreign Policy (2008). Jurnal berpengaruh terbitan AS ini, rutin
menggelar nominasi 100 intelektual dunia, yang kemudian dipilih 20
nominator. Dari 100 orang yang sudah disusun, publik dipersilahkan
memilih intelektual terbaik. ”Saya tidak tahu kalau dinominasikan,”
katanya. ”Saya baru tahu saat pengumuman itu ditulis. Jadi seluruh
informasi tentang saya, mereka cari sendiri tanpa sepengetahuan saya.”
Kriteria daftar
bergengsi ini adalah aktivitas publik keintelektualnya, yang tak hanya
berpengaruh di dalam negeri, tapi harus melampaui batas negaranya.
Komposisi yang terpilih adalah 36 dari Amerika Utara, 30 dari Eropa, 4
dari Amerika Latin, 11 dari Timur Tengah, 4 dari Afrika, 12 dari Asia,
dan 3 dari Asia Tenggara dan Oseania.
Anies
disejajarkan di antaranya dengan Lee Kuan Yew (menteri mentor
Singapura), Al Gore (aktivis lingkungan/mantan Wakil Presiden AS),
Francis Fukuyama (ilmuwan AS), Muhammad Yunus (peraih Nobel Perdamaian
dari Bangladesh). Sebagai orang yang berobsesi ingin menjadi seorang
intelektual berkelas internasional, Anies tentu sangat senang.
”Penominasian ini menunjukkan Indonesia memiliki potensi intelektual
yang sama dengan negara lain. Ini bukan hal yang mustahil!” katanya.
Menurut Anies,
bangsa Indonesia sudah lama memiliki tradisi intelektual. Tokoh-tokoh
seperti Soekarno, Sjahrir,Agus Salim, dan lainnya pernah tersohor di
kalangan internasional. ”Saya ingin tokoh-tokoh intelektual kita juga
kembali muncul sebagaimana mereka,” tandasnya.