Selasa, 27 Mei 2014

Belajar dari Anies Baswedan tentang Indonesia Mengajar

Belajar dari Anies Baswedan tentang Indonesia Mengajar

Gambar di pinjam dari http://twitpic.com/b4xoka
Saya telah menonton puluhan video Anies Baswedan melalui Youtube. Oleh karena itu, sejatinya tidak banyak hal baru yang bisa diperoleh saat menyimaknya langsung di Grha Sabha Pramana (GSP), UGM beberapa hari lalu. Meski begitu saya tak kalah terpana dibandingkan menyimak puluhan videonya. Meski telah lama mengikuti pemikirannya, saya memang baru pertama kali menyaksikan Anies Baswedan tampil langsung memberi inspirasi.
Seorang anak muda yang duduk di sebelah saya bertanya apa yang membuat saya datang ke acara Road Show Indonesia Mengajar (IM) di Jogja. Saya paham maksudnya karena 90% lebih dari ribuan pengunjung adalah anak muda duapuluhan tahun. Saya memang datang ke GSP sore itu bukan untuk mendapatkan informasi bagaimana caranya menjadi pengajar muda karena usia saya sudah kadaluarsa. Kedatangan saya adalah untuk belajar, menyimak gagasan besar dan menuai inspirasi dari orang-orah hebat. Dari Anies Baswedan tentu yang utama.
Saya tidak akan menceritakan apa itu IM karena sudah sangat banyak ulasan mengenai ini. Saya lebih tertarik menyimak gaya Anies Baswedan saat memukau ribuan orang itu. Anies adalah seorang pencerita. Dia sangat lihai mengemas ide besar dan seriusnya dalam bentuk pecahan cerita yang menggugah. Anies memulai ceritanya bahwa inspirasi IM datang dari UGM yang telah lebih dulu melakukan program serupa dengan nama Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Lepas dari kenyataan bahwa cerita ini memang benar, Anies benar-benar tahu cara membuat audiensnya yang dominan orang UGM merasa ‘terlibat’ dan ‘terhormat’.
Anies mengisahkan PTM yang diawali tahun 1952 itu melibatkan nama-nama yang kemudian dikenal besar dan hebat seperti Prof. Koesnadi Hardjasoemantri (mantan rektor UGM). Pak Koes ketika itu dikirim ke Kupang dan menjadi guru di tempat terpencil. Tidak hanya berhenti di situ, beliau berhasil membawa beberapa muridnya untuk bisa melanjutkan pendidikan di Jogja. Salah satunya ternyata adalah Adrianus Moi yang kemudian menjadi Gubernur Bank Indonesia. Satu orang lainnya kemudian menjadi Rektor Universitas Satya Wacana. Bagi saya, ini adalah fakta baru yang sangat menggugah. Dengan kisah ini Anies hendak menyampaikan betapa kerelaan menjadi guru di tempat terpencil itu bisa mengubah hidup seseorang dan terutama bisa berkontribusi besar terhadap kemajuan peradaban.
Jika Anda sama sekali tidak tahu apa itu IM, sebaiknya membaca website resminya di sini. Singkatnya, IM memberi kesempatan kepada anak muda terbaik Indonesia untuk mengabdi sebagai guru selama setahun di desa terpencil Indonesia. Informasi terkini, ada 8000 lebih pelamar untuk memperebutkan 70an kursi pengajar muda. Sangat mengejutkan sekaligus menyenangkan melihat begitu besarnya niat banyak anak muda Indonesia untuk mengabdi pada pendidikan. Dari segi persaingan, bisa dibayangkan betapa hebatnya mereka yang diterima menjadi pengajar muda.
Saat menceritakan perjuangan para pengajar muda, lagi-lagi Anies menyampaikannya dalam bentuk pecahan-pecahan cerita yang membuncah semangat dan menyentuh hati. Kisah anak-anak SD di Pualau Rupat yang karena bimbingan pengajar muda berhasil mengikuti olimpiade di Jakarta adalah yang peling mengharukan. Tidak saja karena ini adalah sejarah seumur hidup sekolah itu, perjuangan perjalanan yang mengharukan adalah kekuatan cerita itu. IM berhasil meyakinkan TNI AL untuk menjemput anak-anak di Pulau Rupat karena mereka mengalami kendala transportasi. Dengan gaya bahasa yang retorik, Anies menyampaikan bahwa peristiwa itu menyatukan banyak pihak dan memberikan kesempatan pada semua pihak untuk menunjukkan perannya bagi bangsa. Jawaban seorang petinggi TNI AL yang mengatakan “Harus bisa kan!?” ketika ditanya “apakah bisa membawa anak-anak itu ke Jakarta?” membuat kisah itu begitu inspiratif. Saya sesungguhnya sudah menyimak cerita ini lewat twitter beberapa bulan lalu. Saya meneteskan air mata haru saat duduk sendiri di sebuah coffee shop di Bandara Kingsford Smith di Sydney. Kisah itu menghadirkan suasana perjuangan dalam kesederhanaan di tengah kota megapolitan seperti Sydney. Saya terharu.
Tulisan ini bisa sangat panjang. Saya mencatat dengan baik segala pelajaran dari Anies Baswedan sore itu. Satu yang saya simpulkan, Anies benar bahwa para Ibu di Indonesia masih melahirkan pejuang melihat anak-anak muda terbaik itu semangat menjadi guru di tempat-tempat yang bahkan sulit ditemukan keberadaannya di peta. Seperti kata Anies, mereka adalah generasi yang memiliki kompetensi global dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan masyarakat akar rumput. Dalam bahasa lain, mereka memiliki international competence and grass-root understanding. Indonesia tersenyum memiliki orang-orang seperti Anies Baswedan yang telah membuat para muda masih percaya pada kebajikan dengan ‘mendonasikan’ setahun hidupnya menjadi inspirasi di desa-desa terpencil. Mereka adalah visualisasi mimpi bagi anak-anak Indonesia di berbagai pelosok negeri. Terima kasih Mas Anies dan para pengajar muda!

Anies Baswedan

Anies Baswedan adalah intelektual muda Indonesia yang namanya sudah mendunia dan berwawasan global. Ia tercatat sebagai penerima penghargaan dari majalah Foreign Policy sebagai satu dari 100 Intelektual Publik Dunia yang paling berpengaruh pada bulan April 2008 bersama Noam Chomsky, Al Gore, Francis Fukuyama, Samuel Huntington, Vaclav Havel, Thomas Friedman, Bernard Lewis, Lee KuanYew dan pemenang Nobel asal Bangladesh, Muhammad Yunus.


Anies Baswedan lahir di Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969 berasal dari keluarga intelektual yang menyimpan tekad untuk turut membangun bangsa melalui jalur pendidikan, di antaranya dengan mengantarkan Paramadina menjadi universitas kelas dunia. Kedua orang tua Anies adalah dosen, Rasyid Baswedan, ayah Anies, pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia, sementara Aliyah Rasyid, ibu Anies, adalah guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta. Riwayat pendidikan Anies yaitu:
  1. TK Mesjid Syuhada di Kota Baru, Yogyakarta.
  2. SD Laboratori Yogyakarta.
  3. SMP Negeri 5 Yogyakarta.
  4. SMAN 2 Yogyakarta.
  5. Universitas Gadjah Mada (UGM) (1989-1995).
  6. Master Bidang International Security and Economic Policy di Universitas Maryland, College Park
  7. Departemen Ilmu Politik di Universitas Northern Illinois


                 
               

TEMAN DUDUK YANG SUKA BERANTEM

Meski tidak pernah menjadi juara kelas, ia terdaftar sebagai ’100 Intelektual Publik Dunia’.

Seakan sudah memperhitungkan waktu, pria muda itu mengakhiri pertemuannya dengan seorang profesor dari Colorado, Amerika Serikat menjelang kumandang azan Magrib bergema. Anies Baswedan, Ph.D., pria muda itu, menemui femina, dan berulang kali meminta maaf atas perubahan-perubahan yang mendadak tentang jadwal wawancara. ”Maaf, jadwal wawancaranya terpaksa harus berubah, karena besok pagi saya ada acara lain,” tuturnya, dengan sangat santun, sambil memohon izin untuk menunaikan salat Magrib.

Kesibukan suami Fery Farhati Ganis S.Psi, M.Sc. ini memang luar biasa. Rabu pagi itu misalnya, ia baru saja terbang ke Yogyakarta untuk berceramah di Festival Film Asia atas undangan sutradara film Garin Nugroho. Setelah mampir sebentar ke rumah kedua orang tuanya di Jalan Kaliurang, Yogya, menjelang sore ia sudah harus kembali ke Jakarta.

Sampai di Bandara Soekarno-Hatta, ia tidak langsung pulang. Karena, ada dua acara lagi yang menunggunya. Ia baru bisa menginjakkan kaki di rumahnya, di kawasan Lebak Bulus, sekitar pukul 23.00. Esoknya, pagi-pagi ia harus bersiap lagi memberikan ceramah ilmiah di Jakarta. Karena itu, wawancara dengan femina pun terpaksa disisipkan di antara padatnya jadwal. Sambil menikmati kemacetan yang menyesakkan di sepanjang jalan tol Bandara Soekarno-Hatta menuju Kampus Universitas Paramadina di Jalan Gatot Subroto, perbincangan itu berlangsung akrab.

MERASA ’KAYA’ SEJAK KECIL

Sejak bocah, Anies memang sudah sangat ’sibuk’. Menurut Prof. Dr. Aliyah Rasyid, ibunda Anies, putra sulungnya itu tergolong anak yang sangat aktif dan tidak cengeng. ”Dia tidak mau hanya duduk manis dan diam. Akibatnya, ia sering kali terjatuh. Ia pernah terjatuh di teras rumah, dalam posisi kepala di bawah dan kaki di atas. Saya langsung berlari mendekatinya karena khawatir ia gegar otak atau kepalanya terluka. Alhamdulillah... Anies ternyata tidak apa-apa. Meski jatuhnya sangat keras, Anies tidak menangis! Wajahnya saja yang kelihatan agak suram, menahan rasa sakit.”

Anies kecil memang jarang sekali menangis. Ketika tangannya terkena setrika panas sampai membengkak merah, ia tidak menangis. Padahal, saat itu usianya baru tiga tahun dan berbicara pun masih cadel. ”Kenapa tanganmu melepuh, Nak?” tanya ibunya. ”Kena trika,” jawab Anies kecil.

Anies lahir pada 7 Mei 1969 dengan pertolongan bidan Enny di Kuningan, kota kecil di bagian utara Jawa Barat, tempat kelahiran ibunya. Drs. A. Rasyid Baswedan, SU, suami Aliyah. Kemudian mereka memberi nama anak pertamanya itu, Anies. Dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata anis berarti ’tanaman yang banyak tumbuh di kawasan Laut Tengah, buahnya kecil-kecil dan berbau harum, dipakai sebagai obat atau rempah-rempah’.

Tetapi, menurut Rasyid, anies artinya ’teman duduk’. Selain melambangkan ketaatan seorang anak, nama itu juga dimaksudkan untuk mengenang nama kakak perempuan tercinta Rasyid yang bernama Anisah yang saat itu sudah meninggal. ”Karena anak saya laki-laki, maka saya beri nama dia Anies. Lengkapnya Anies Rasyid Baswedan. Semua anak saya, saya sertakan nama saya dan nama keluarga, yaitu Rasyid dan Baswedan!”

Anies tumbuh tidak hanya aktif, namun juga lumayan nakal. ”Saat kanak-kanak, saya tergolong anak yang kurang baik,” akunya jujur. ”Saya sering berantem dan di antara mereka ada yang saya pukuli sampai berdarah-darah. Mungkin, di antara mereka banyak yang sebel, sehingga mereka kemudian mengeroyok saya.”

Saat itu usia Anies baru sekitar lima tahun dan masih tinggal bersama kakeknya. Anies dipukuli oleh sekitar lima-enam anak seusianya di lapangan tenis. Aliyah yang baru pulang dari kampus dan menyaksikan anaknya dipukuli teman-temannya, malah pura-pura tidak melihat. ”Sebagai ibu, saya tentu sangat kasihan,” papar Aliyah. ”Tetapi, saya lihat keadaannya tidak membahayakan, jadi saya biarkan saja. Itu sebagai latihan Anies agar mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.”

Anies besar di lingkungan keluarga pejuang yang sederhana, pendidik, dan peka kondisi sosial. Anies dan keluarganya memang tinggal di rumah kakeknya, Abdurrachman (AR) Baswedan, seorang jurnalis dan perintis kemerdekaan yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan (1946) serta anggota konstituante (Dewan Perwakilan Rakyat). Kedua orang tua Anies adalah dosen. Rasyid pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia, sementara Aliyah adalah guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta.

Lingkungan kehidupan orang-orang pilihan inilah yang membuat Anies merasa ’kaya’ sejak bocah. Dari kakeknya, ia mendapatkan nilai-nilai perjuangan, kemanusiaan, kejujuran, dan sebagainya. Sepanjang sejarah di Indonesia, mungkin hanya kakeknyalah tokoh nasional yang hingga akhir hayatnya tidak mempunyai rumah.

Saat itu, kakeknya tinggal di Taman Yuwono, kompleks perumahan yang dibangun bagi para pejuang kemerdekaan. Kompleks yang terletak di Jalan Dagen, belakang Jalan Malioboro, itu terdiri dari 20 rumah dan sebuah lapangan tenis yang dibangun oleh Haji Bilal, seorang pengusaha batik di Yogya. Rumah yang ditinggali oleh kakek Anies ini sebelumnya pernah didiami oleh Kasman Singodimedjo, M. Natsir, dan M. Roem. Di rumah ’wakaf’ kakeknya itu tidak ada telepon, sepeda motor, apalagi mobil.

Meski Anies lahir di lingkungan keluarga akademisi, Rasyid dan Aliyah sepakat membiarkan semua anaknya tumbuh alamiah. Ia tidak memaksakan agar putra-putrinya bisa membaca dan meng¬hitung lebih dini, misalnya. ”Kami yakin anak-anak kecil butuhbermain yang produktif dan kreatif. Karena, dunia bermain pada anak sama dengan dunia bekerja pada orang dewasa. Itulah yang bakal menjadi bekal kehidupan mereka ke depan,” tutur Aliyah.

Menurut Aliyah, Anies baru menangis saat ia me&rengek-rengek minta sekolah. Awalnya, Aliyah kurang menggubrisnya, karena saat itu usia Anies baru tiga tahun. Ia pikir, anaknya itu hanya ingin sekolah, karena setiap hari menyaksikan anak-anak lain yang masuk di sekolah TK Bustanul Athfal, tidak jauh dari rumah.

Namun, ketika Anies setiap kali merengek minta dimasukkan ke sekolah, Aliyah berusaha berkonsultasi dengan Rahayu Haditono, psikolog kenamaan di Yogya. ”Biarkan saja anak Ibu masuk sekolah. Tetapi, kalau tiba-tiba dia ingin berhenti sekolah, jangan dipaksa sekolah,” saran Rahayu.

Anies pun mulai sekolah. Setiap hari ia diantar Eyang AR Baswedan. Seperti sudah diduga, Anies belum sepenuhnya ingin sekolah. Terkadang menggebu-gebu ingin masuk sekolah, tetapi dalam kesempatan lain tiba-tiba mogok dan tidak mau masuk sekolah lagi. Menjelang usia lima tahun, barulah ia kemudian dimasukkan di sekolah TK Mesjid Syuhada di Kota Baru, Yogya.

Setiap hari Anies diantar-jemput oleh Gimin, tukang becak yang hampir setiap hari mangkal di dekat rumah kakeknya. ”Selain kami berdua bekerja, kami juga ingin melatih Anies agar bisa lebih cepat mandiri,” Aliyah memberi alasan. ”Tetapi, sebenarnya diam-diam saya mengikutinya dari belakang. Sebagai seorang ibu, saya tidak tega melihat anak usia lima tahun naik becak sendiri.”

Anies tergolong pemberani. Saat di TK Syuhada itu, Rasyid pernah menyaksikan anak sulungnya menonjok teman sekolahnya yang jauh lebih besar. Gara-garanya, Anies melihat anak besar itu mengejar dan akan memukul seorang anak yang lebih kecil. Anies langsung mengejar dan mendorong anak besar itu sampai terjatuh. Ketika anak besar itu bangun dan memandangi Anies dengan marah, Anies justru balik memandangi anak itu dengan pandangan yang lebih tajam. Apa yang terjadi? Anak itu ngeloyor pergi, tanpa berani memandang mata Anies.



BELAJAR ADIL DI MEJA MAKAN

Memasuki usia enam tahun Anies dimasukkan ke SD Laboratori, salah satu SD negeri terbaik di Yogya. Aliyah bercerita, hari pertama masuk sekolah, Anies ngambek, karena belum dibelikan tas sekolah. Akhirnya Aliyah buru-buru mencarikan tas untuk Anies. Tetapi, setelah mulai masuk di sekolah ini, Anies kembali berulah. ”Anies sering kali berkelahi, sehingga saya sering kali dipanggil oleh guru ke sekolah, laporan guru-guru itu saya terima, tetapi saya merasa berkelahi itu bagian sosialisasi. Selama tidak membahayakan, saya biarkan saja mereka berkelahi,” kata Aliyah.

Anies berangkat ke sekolah dibonceng dengan sepeda. Umumnya, anak-anak di sekolah ini naik sepeda sendiri, diantar dengan mobil pribadi, bus, dibonceng sepeda motor, atau diantar dengan becak. Rupanya, orang tuanya sengaja memberikan pekerjaan antar-jemput dengan sepeda itu kepada Puji, tetangganya, yang saat itu sedang menganggur. Diam-diam, hal itu membuat Anies kurang pede. ”Saya agak malu. Bagaimana tidak malu kalau saya satu-satunya murid yang diantar-jemput dengan sepeda?” kilah Anies, tersenyum.

Beruntung antar-jemput dengan sepeda itu hanya berlangsung selama dua tahun, karena memasuki kelas 3, Anies sudah dibelikan sepeda sendiri oleh ayahnya. Dan, sejak kelas 3 itu, Aliyah tidak pernah lagi diundang guru ke sekolah. ”Sejak kelas 3, saya tidak pernah berantem lagi,” ujar Anies.

Meski hidup sederhana, Anies merasakan kedamaian dan kebahagiaan yang luar biasa pada keluarganya. Masih terbayang jelas saat ia bersama dengan kedua adiknya menunggui ayahnya pulang. Mereka berharap ayahnya membawa kotak makanan, bagian ayahnya dari rapat di kampus.

Di meja makan, hampir setiap hari ayah dan ibunya membiasakan makan bareng. Di tempat inilah kedua orang tua Anies acapkali memberikan pendidikan kejujuran, keadilan, kebersamaan, dengan cara sederhana. Antara lain, kalau saat itu lauknya telur dadar, maka salah seorang di antara ketiga anaknya disuruh membagi dengan pisau. Tapi, bagi yang memotong itu, dia harus mengambil bagiannya paling akhir. Dengan demikian, ia selalu berusaha memotong telur dadar itu seadil mungkin, sama besar!

Begitu juga kalau persediaan nasi terbatas, maka salah seorang di antara ketiga anak itu harus membagi. Seperti juga saat membagi telur, untuk anak yang membagi nasi itu, dia harus mengambil bagiannya paling belakangan. Di meja makan ini pula, kedua orang tua Anies membiasakan terjadinya dialog. Rasyid dan Aliyah membiarkan anaknya mendebat pendapatnya, atau berbeda pendapat dalam suatu masalah.

Sikap egaliter inilah yang membuat kedua adik Anies, kalau memanggil dirinya cukup dengan panggilan Anies, tanpa menambah dengan kata mas, abang, atau kakak. ”Tapi, tidak dalam masalah agama! Untuk hal yang satu ini, tidak boleh ada perdebatan. Islam harus menjadi agama keluarga besar kami. Abah dan Mama lebih menekankan bagaimana kami anak-anaknya menjadi orang beragama yang baik,” tutur Anies.

Anies sangat terkesan setiap kali acara Sekaten di Alun-Alun Utara Keraton Yogya dan Peringatan HUT Kemerdekaan RI di Jalan Malioboro. Untuk menuju ke tempat dua acara itu mereka cukup berjalan kaki, karena jaraknya tidak jauh. Setiap kali menyaksikan acara peringatan HUT Kemerdekaan itu, Anies selalu digendong di atas bahu abahnya. ”Saya suka sekali melihat drum band,” kenangnya.

”Begitu terkesannya Anies pada drum band, setelah itu Anies pun mengajak teman-temannya bermain drum band,” tambah Aliyah. ”Mereka menggunakan kaleng kosong yang diikatkan ke tubuh mereka dan kemudian mereka pukuli dengan kayu. Mereka berbaris di lapangan tenis di dekat rumah, seperti drum band yang mereka tonton di Jalan Malioboro.”

Tidak itu saja. Ayahnya juga sering kali mengajak dirinya dan kedua adiknya nonton film ke gedung bioskop. ”Jadi, Abah itu di mata kami seperti teman. Kami biasanya nonton bareng-bareng berempat ke Mataram Teater, bioskop terbaik di Yogya saat itu!”

Rasyid mengungkapkan, kalau ada di antara anak-anaknya yang tanpa sengaja berbicara tentang suatu judul film, diam-diam ia biasanya lebih dulu menonton film itu. ”Kalau film itu cukup baik untuk ditonton oleh anak-anak, barulah saya mengajak mereka untuk menonton.”

Ada cerita unik ketika Anies akan mengikuti ujian SD. Berbeda dengan kebanyakan orang tua yang lain, saat anaknya akan menghadapi ujian, mereka umumnya menganjurkan anaknya tekun belajar. Tetapi, tidak pada Rasyid. Saat esok hari harus mengikuti ujian akhir SD, ayahnya malah mengajak Anies dan kedua adiknya makan malam di luar. Kata ayahnya, ”Selama ini kamu sudah belajar. Itu sudah cukup! Jadi, kamu jangan tegang menghadapi ujian besok. Daripada kamu belajar malah jadi makin butek pikiranmu, lebih baik malam ini kita relaks. Yang penting kamu jangan lupa membaca bismillah!”

BERBAKAT MEMIMPIN

Meski tinggal hanya sekitar tiga kilometer dari Keraton Ngayogjokarto Hadiningrat, keluarga Anies berbicara sehari-hari di rumah dengan bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa. Maklum, Aliyah, ibunda Anies, adalah wanita Sunda (Kuningan). ”Meski berbicara dengan bahasa Indonesia, tata krama di rumah tetap gaya Jawa Yogya. Saya dan adik-adik mengerti bahasa Jawa dari lingkungan, walaupun bukan bahasa Jawa tinggi, atau kromo inggil,” tutur Anies.

Seperti saat kanak-kanak, saat sudah mulai sekolah pun, Anies masih tetap saja selalu ’sibuk’. Bersama teman-temannya di Taman Yuwono, ia bermain sepak bola, mercon, kelereng, petak umpet, layang-layang, dan sebagainya. Ayahnya juga memasukkan Anies ke sebuah klub sepak bola PS Gama, di Yogya.
Makin besar, bakat kepemimpinan Anies kian tumbuh. ”Ia cenderung mencari teman yang usianya rata-rata lebih tua daripada dirinya,” tambah Aliyah.

Ridwan, adiknya, sangat terkesan ketika kakaknya membentuk kelompok anak-anak muda (7-15 tahun) kampungnya yang diberi nama Kelabang (Klub Anak Berkembang). Saat itu usia Anies baru 12 tahun. Mereka kemudian membuat seragam lengkap dengan tulisan Kelabang dan gambar binatang kelabang (lipan), dan setelah itu mereka mengadakan berbagai kegiatan olahraga dan kesenian. ”Karena yang mempunyai inisiatif itu Anies, maka mereka semua pun sepakat untuk menunjuk Anies sebagai ketuanya,” Ridwan menambahkan. Salah satu kegiatan Kelabang adalah membuat sekolah sepak bola. Anies kemudian membuat tulisan di atas papan bertuliskan Sekretariat Sekolah Sepakbola, yang ia pasang di depan rumah.

Di sekolah, sikap kepemimpinan Anies juga makin tersemai. Ia beberapa kali dipercaya oleh teman-temannya menjadi ketua kelas di SD Laboratori Yogya. Oleh kedua orang tuanya, Anies memang didorong untuk aktif mengikuti kegiatan di sekolah. ”Dengan aktif berorganisasi, selain akan banyak belajar bagaimana mengelola manusia, tugas, dan perencanaan, dia juga akan terbiasa mendengar sesuatu yang tidak enak,” papar Rasyid. ”Di dalam organisasi mereka bisa berlatih menerima suara-suara yang tajam itu,” imbuhnya.

Disadari atau tidak, berbagai aktivitas itu akhirnya agak mengganggu Anies di kelas. Ia tidak pernah mendapatkan nilai terbaik, walaupun masih masuk dalam urutan 10 besar di kelasnya. Ayah-ibunya sudah memprediksi hal itu. ”Ia memang tidak pernah meraih peringkat terbaik, tetapi ia mendapatkan sesuatu yang nilainya jauh lebih dari nilai di rapor itu!” tegas Rasyid.

Dari tahun ke tahun sikap kepemimpinannya makin menonjol, sehingga menarik perhatian para guru di sekolahnya. Itu sebabnya, saat memasuki kelas 5 dan 6 di sekolah itu, Anies ditunjuk oleh gurunya untuk berpidato saat acara salat Idul Adha yang diselenggarakan di sekolah. ”Saat itulah untuk pertama kali saya berpidato di depan orang banyak.” Anies berusaha merenda masa kecilnya.


MASUK ISTANA TANPA IZIN

Anies yang baru kelas 2 SMA, nekat menemui Presiden Soeharto dan Ny. Tien Soeharto tanpa izin. Ia berhasil, meski sebelumnya dimarahi habis-habisan.

Saat duduk di bangku SMP, Anies bersama Anjang dan tiga orang temannya pernah membuat panik orang sekampung. Mereka dikira sudah tewas, tenggelam di Selokan Mataram, sungai yang dibuat oleh Hamengku Buwono IX di zaman penjajahan Jepang untuk menjaga rakyatnya agar tidak dipaksa sebagai romusa.

Pagi-pagi sekali, beberapa hari setelah Lebaran, Anies pamit akan mengarungi sungai yang terletak di sebelah utara kampus UGM Yogya, yang menghubungkan Sungai Progo dengan Sungai Opak. Mereka akan berlayar dari Jalan Kaliurang sampai di dekat Candi Prambanan (perbatasan Klaten-Yogya). Tetapi, hingga sore rombongan anak-anak yang menggunakan perahu rakitan batang pisang itu ternyata belum juga pulang. Banyak orang akhirnya berspekulasi, anak-anak itu sudah tenggelam.

Keluarga mereka tentu sangat cemas, termasuk orang tua Anies. Meski sudah pamit, kedua orang tua Anies tidak mengira kalau sampai selarut itu Anies belum juga pulang. Adik Anies, Ridwan, disuruh untuk mencari kakaknya dengan dibonceng sepeda motor pamannya. Bersama anggota keluarga anak-anak yang lain, mereka menyusuri sepanjang sungai. Ternyata, Anies dan teman-temannya masih berada di sungai di dekat Candi Prambanan. Suatu petualangan yang cukup jauh dan sangat melelahkan!

’HOBI’ MELAYAT PEJUANG

Kalau saja Anies bersama teman-temannya benar-benar tenggelam di sungai itu, selain kedua orang tua, adik-adik, dan keluarga besarnya, ada lagi keluarga yang sangat berduka, yaitu keluarga besar siswa, guru, dan karyawan SMP Negeri 5 Yogya. Sebagai Ketua Seksi Pengabdian Masyarakat, salah satu tugas Anies adalah mengabarkan dan mengumpulkan dana kalau ada anggota keluarga dari siswa, guru, atau karyawan di sekolah itu yang sakit atau meninggal.

Setiap kali ada yang mendapat musibah, Anies langsung mendatangi kelas demi kelas di sekolah itu. Selain mengumumkan adanya musibah ke seluruh kelas (ada 30 kelas), ia juga mengedarkan kotak amal untuk mengumpulkan dana. Setelah itu, ia memimpin teman-temannya mendatangi keluarga yang sedang terkena musibah untuk menyampaikan rasa dukacita dan sumbangan. Secara struktural, jabatan itu seolah tidak penting dalam organisasi siswa sekolah. Tetapi, pada pelaksanaannya, justru seksi inilah yang paling aktif.

Tanggung jawab yang diemban Anies dengan baik ini telah berhasil menempa diri Anies menjadi lebih dewasa dibanding usia yang sebenarnya. Sebagai anak usia 13 tahun, ia harus berbicara di kelas di depan guru dan puluhan siswa. Setelah itu, ia harus mewakili sekolah untuk menyampaikan rasa dukacita dan sekaligus sumbangan.

Semua siswa dan guru di SMP 5 itu akhirnya mengenal Anies. Saat duduk di bangku kelas 2, ia terpilih sebagai Ketua Panitia Tutup Tahun SMP Negeri 5. Acara yang diselenggarakan di Gedung Purna Budaya ini diadakan secara besar-besaran dan megah. Untuk menyukseskan acara itu, ia harus melibatkan banyak personel. ”Alhamdulillah, acara ini ternyata bisa berjalan dengan sukses,” katanya.

Setelah dewasa, Anies baru menyadari, betapa besar manfaat kegiatan di masa remaja itu bagi kehidupannya saat ini. Selain menjadi lancar berbicara di depan banyak orang, ia makin peka setiap kali ada kabar kematian. Saat Sultan Hamengku Buwono IX meninggal, ratusan ribu pelayat memenuhi alun-alun utara Yogya. Tetapi, Anies ingin sekali melayat dan bisa memasuki Sitihinggil, tempat jenazah orang nomor satu di Yogya itu disemayamkan.

Bersama Ridwan, Anies berusaha menjebol barikade lautan manusia yang meluber di seluruh alun-alun sampai kantor pos. Anies mengekor di belakang Ridwan yang bertubuh lebih besar, yang terus meringsek masuk. Usahanya tidak sia-sia. Anies dan Ridwan berhasil sampai di Sitihinggil, meski dengan sangat susah payah. Perjalanan dari kantor pos menuju Sitihinggil yang hanya berjarak sekitar dua kilometer, harus ditempuh selama lebih dari empat jam! ”Hati saya plong, bisa ikut menyalatkan almarhum.”

’Hobi’ melayat para tokoh pejuang ini menjadi kebiasaannya hingga kini, meski ia sendiri secara pribadi tidak mengenal tokoh itu maupun keluarganya. ”Mungkin, karena saya sangat hobi membaca biografi, saya memiliki rasa hormat pada para pejuang. Jadi, kalau mereka pulang ke pangkuan Ilahi, saya merasa harus mengantar,” tuturnya, tulus. ”Saat Kiai Ali Maksum, pimpinan Pondok Pesantren Krapyak, meninggal dunia, saya jalan kaki cukup jauh dari Krapyak sampai ke tempat pemakamannya di Jalan Bantul, Yogyakarta.”

Dan, setiap kali Anies menghadiri pemakaman para tokoh itu, ia seakan sedang menyaksikan betapa besar akumulasi pahala para tokoh itu. ”Kalau dia tidak banyak berbuat untuk tanah air, bangsa, atau agamanya, mana mungkin kepulangan mereka diantar begitu banyak orang?”

BELAJAR KELUHURAN BUDI DARI SANG AYAH

Seperti anak-anak yang lain, semasa bocah, Anies juga banyak bermain. Sepulang sekolah, Anies tidak langsung pulang ke rumah. Bersama teman-temannya, ia sering kali mengadakan penjelajahan, yaitu bersepeda menuju tempat-tempat baru. Tempat-tempat itu umumnya daerah pedesaan yang masih seperti hutan, yang terkadang masih ada ular maupun binatang buas lain. ”Karena, saya sangat terkesan pada film Tarzan,” ujarnya, tersenyum.

Saat kelas 2 SMP, Anies sempat ditangkap polisi lalu lintas karena melanggar rambu lalu lintas saat mengendarai sepeda motor. Repotnya lagi, ia belum mempunyai SIM (surat izin mengemudi). ”Mak nyes... begitu perasaan saya ketika polisi menyetop. Saya tegang dan ketakutan luar biasa, karena seumur-umur saya tidak pernah melanggar aturan dan berurusan dengan polisi,” katanya, polos.

Anies dibawa ke Kantor Polisi Gondomanan. Sepeda motornya disuruh ditinggalkan di situ, dan ia pulang naik becak. Dengan penuh rasa berdosa, ia melaporkan semua kejadian tersebut kepada ayahnya. Di luar dugaan, sang ayah sama sekali tidak menunjukkan ekspresi kemarahan. ”Oya, ada apa?” kata ayahnya, datar saja menanggapi persoalan tersebut.

Esoknya, Anies diajak ke kantor polisi oleh ayahnya. Di kantor polisi, ayahnya langsung masuk, sementara Anies disuruh duduk menunggu di ruang depan. Ayahnya keluar dari ruang kantor itu dengan membawa STNK dan membawa pulang motor Vespa itu. Anies terkesan sekali pada sikap ayahnya itu. ”Saya sadar, saya melakukan kesalahan. Tetapi, saya tidak dimarahi, malah justru dibela. Di sinilah saya merasa, betapa Abah sangat menyayangi dan melindungi kami, anak-anaknya!”

Sikap itulah yang membuat Anies makin hormat, segan, dan tunduk kepada ayahnya. Baginya, hukuman tanpa hukuman itu justru membuatnya makin takut untuk berbuat kesalahan. Tetapi, entah kenapa, nasib sial itu kembali menghampiri Anies di jalanan.

Saat kelas 3 SMP, ia mengendarai Vespa-nya di Jalan Kaliurang, berboncengan dengan Anjang. Ia tahu, beberapa meter di depannya ada seseorang naik sepeda, sehingga ia pun berusaha mengambil posisi lebih ke kanan. Tetapi, ketika motor Anies tepat berada di kanan sepeda itu, mendadak sekali pengendara sepeda iseng membelak-belokkan alat kemudinya.

Karena kecepatannya agak tinggi, Anies tak sempat lagi menghindar dari pengendara sepeda yang sedang bermain-main di jalanan itu. Tabrakan keras pun tak terhindarkan. Pengendara sepeda terpelanting dan pingsan, sementara Anies terjatuh dan menderita luka-luka, tangannya bengkak dan tak bisa digerakkan.

Lagi-lagi Anies menemukan keluhuran budi ayah-bundanya. Saat menjenguk Anies maupun pengendara sepeda itu di RS Sardjito, sikap ayahnya tetap saja sangat menyejukkan. Ayah-ibunya sama sekali tidak panik dan tidak membicarakan masalah tabrakan itu. Mereka hanya menanyakan apakah Anies pusing, telinganya keluar darah atau tidak, dan bagian mana saja dari tubuh Anies yang sakit. ”Saat saya melakukan dua kesalahan yang sangat fatal, ngebut dan menabrak orang sampai pingsan, Abah sama sekali tidak memarahi saya sedikit pun!”


MASUK ISTANA TANPA IZIN

Anies yang baru kelas 2 SMA, nekat menemui Presiden Soeharto dan Ny. Tien Soeharto tanpa izin. Ia berhasil, meski sebelumnya dimarahi habis-habisan.

KETUA OSIS SE-INDONESIA
Lulus SMP, Anies mendaftarkan diri ke SMA Negeri 2 Yogya. Lagi-lagi ia tak bisa lepas dari aktivitas organisasi di sekolah barunya itu. Beberapa bulan setelah ikut aktif di OSIS, ada pemilihan ketua OSIS yang baru. Saat itu ada empat calon ketua, satu orang dari kelas 1, dua orang dari kelas 2, dan seorang lagi dari kelas 3.

Anies, yang baru tiga bulan bersekolah di tempat itu, terpilih sebagai calon ketua yang diajukan dari kelas 1. Ia harus bertarung melawan tiga calon ketua dari kelas 2 dan 3. Pemilihan itu diselenggarakan secara langsung dan setiap calon ketua harus berpidato, mengajukan gagasan dan programnya masing-masing di hadapan seluruh siswa. ”Saya berhasil menjadi pemenangnya, dengan selisih kemenangan yang cukup besar,” ujarnya, tanpa maksud menyombong. ”Tetapi, kemenangan itu akhirnya dianulir oleh para guru dan pimpinan sekolah. Dalam sejarah sekolah itu, belum pernah ada anak kelas 1 menjadi ketua OSIS.”

Akhirnya diputuskan, pemenang urutan kedua adalah Novi, sis¬wi kelas 2, yang menjadi ketua OSIS yang baru. Anies ditunjuk sebagai wakil ketua. ”Tahu tidak, saya tadi siang berjumpa mantan ketua OSIS itu di pesawat. Dia sekarang menjadi dosen di UGM,” kata Anies, sembari tertawa lepas.

September 1985, sebagai wakil ketua OSIS SMAN 2, Anies di¬tunjuk oleh sekolah untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan di Jakarta. Acara ini sesungguhnya diperuntukkan bagi para ketua OSIS SMA dari seluruh Indonesia. Dari Yogya ada 10 delegasi, dan jumlah peserta dari seluruh Indonesia mencapai 300 orang yang diinapkan di sebuah hotel di Jakarta Selatan. Agar acara pelatihan berjalan lancar, maka ditunjuklah seorang ketua untuk memimpin acara itu. Hebatnya, meski Anies hanya sebagai wakil ketua OSIS dan masih kelas 1, ia terpilih sebagai ketua OSIS SMA se-Indonesia yang umumnya siswa kelas 2 dan 3.

Dalam forum inilah Anies merasa sikap kepemimpinannya benar-benar diuji. ”Bayangkan, di sini saya harus memimpin ratusan anak, yang hampir semua di antara mereka adalah anak-anak pilihan, yang semuanya merasa bahwa diri mereka adalah seorang pimpinan di sekolah mereka. Saya benar-benar diuji, sehingga saya harus banyak bernegosiasi, berbicara, persuasif, dan berbagai cara lain sehingga forum itu bisa berjalan dengan baik dan suasananya hidup!”

Pengalaman ini sangat berkesan pada diri Anies. Selain terpilih sebagai ketua, di tempat ini pula ia bertemu dengan Menteri Pendidikan, Prof. Dr. Fuad Hasan. ”Saya bangga sekali bisa bertemu dengan Pak Menteri,” paparnya, dengan wajah berbinar. ”Sebagai anak Yogya, orang pelosok, yang datang ke Jakarta dan bisa berjabat tangan dengan Pak Menteri, wah... saya seperti sedang mimpi. Foto dengan Pak Menteri itu saya bawa pulang ke Yogya dan saya ceritakan kepada semua orang, bahwa saya bertemu dan berjabat tangan dengan Pak Menteri yang ramah dan hangat itu.”


GEGAR BUDAYA SEPULANG DARI AS

Meski sangat sibuk berorganisasi, Anies masih berhasil naik ke kelas 2, tahun 1986. Seperti saat di SD maupun SMP, prestasi akademi Anies memang bukan yang terbaik, walaupun tetap di atas rata-rata. Namun, dengan kesukaannya membaca dan mempelajari bahasa Inggris, Anies berhasil terpilih menjadi peserta AFS, program pertukaran pelajar siswa Indonesia-Amerika, tahun 1987.

Selama satu tahun Anies tinggal di rumah sebuah keluarga di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat. Untuk mengikuti pemilihan tidaklah mudah, karena harus mengikuti berbagai tes. Dari Yogya hanya dua anak, yaitu Anies dan Rina, siswi SMA Muhammadiyah 1.

Tinggal di negara superpower itu, Anies mengaku mengalami gegar budaya yang sangat dahsyat. ”Saya mengalami gegar budaya yang luar biasa hebat. Jangankan ke Amerika, ke Jakarta saja saya masih terkagum-kagum. Kepergian saya ke Amerika itu membawa efek yang besar bagi kehidupan saya, dan membuka cakrawala yang sangat besar. Cara berpikir saya menjadi lebih global.”

Efeknya, Anies merasakan pergeseran yang luar biasa pada pemikiran-pemikirannya saat masuk kembali ke SMAN 2 tahun 1988. ”Saya merasakan banyak kejanggalan dan ketidakadilan di sekeliling saya! Mendadak muncul pemberontakan-pemberontakan. Di sekolah, saya merasakan banyak aturan yang tidak masuk akal, pelajaran membosankan, guru yang tidak mau diajak dialog, dan teman pun jarang yang sejalan.”

Beruntung Anies memiliki seorang ibu yang penuh pengertian. ”Ini adalah realitas dari Republik ini. Hiduplah dengan keadaan itu, dan perjuangkan agar terjadi perubahan. Tetapi, jangan sekali-kali nyempal. Jangan menarik diri!” kata sang ibu setiap kali putra sulungnya memprotes sesuatu di lingkungannya.

Aliyah sadar, putranya itu tengah mengalami guncangan pemikiran yang luar biasa. Ia berusaha menghadapi putranya itu dengan sikap keibuan. Kesibukannya sebagai Guru Besar Universitas Negeri Yogya, ia kurangi agar bisa lebih fokus menangani putranya.

”Banyak acara penting yang sengaja saya batalkan demi mendampingi Anies yang batinnya tengah bergolak. Ia tiba-tiba menjadi sangat tidak nyaman di lingkungannya sehingga ingin berontak. Mendadak ia benci pada sekolahnya, karena keadaan sekolahnya sangat berbeda dengan di Amerika. Syukurlah, Anies itu anaknya terbuka, sehingga semua permasalahan dia bicarakan dengan saya,” cerita Aliyah.

Rasyid menambahkan, anak sulungnya itu akan langsung melawan kalau diperlakukan tidak adil. Suatu hari, ia membuat SIM ke kantor polisi. Saat ia harus membayar dokter, blanko formulir, dan berbagai persyaratan lain, ia tidak berontak karena semua itu disertai dengan kuitansi. Tetapi, ketika akan mengambil SIM yang sudah jadi, tiba-tiba ia diharuskan memasukkan uang ke kotak oleh petugas di situ. Anies menolak karena petugas itu tidak mau memberikan kuitansi. Dia diancam tidak akan mendapatkan SIM.

Anies tidak mau diperlakukan tidak adil seperti itu. Ia meng¬hadap komandan bagian pembuatan SIM, dan melaporkan tindakan petugas itu. Apa yang terjadi? Sang komandan bukan hanya menerima pengaduan Anies, tetapi juga mengambilkan SIM-nya.

DIMARAHI STAF PRESIDEN
’Kekayaan’ Anies meningkat lagi ketika bulan Januari 1989 TVRI Yogya pimpinan Ishadi SK membuat acara yang bernama Tanah Merdeka. Acara ini merekrut anak-anak muda di Yogya untuk mewawancarai tokoh-tokoh nasional. Anies termasuk salah satunya. Dari sinilah kekayaan batin Anies dari hari ke hari terus bertambah. Selain meningkatkan diri di bidang ilmu jurnalistik, Anies juga bisa banyak belajar dari kehidupan orang-orang besar.

Satu per satu tokoh nasional ia datangi dan ia wawancarai. Antara lain, Sultan Hamengku Buwono IX, Tien Soeharto, Sudomo, WS Rendra, Emil Salim, Taufiq Ismail, dan masih banyak lagi. Namun, tidak semua program berjalan mulus. Suatu hari Anies bersama teman-temannya ’kena batunya’. Ketika Presiden Soeharto meresmikan Muktamar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Krapyak di Yogya, Anies bersama timnya bermaksud mewawancarai. Tanpa sepengetahuan pimpinan, mereka berangkat dengan mobil TVRI Yogya, dilengkapi kamera, menuju ke Gedung Agung tempat Presiden Soeharto dan para menteri menginap, lewat pintu belakang istana. Karena mobil itu berlogo TVRI Yogya, meski belum ada janji, mereka boleh masuk.

Namun, apa yang terjadi? Begitu mendatangi kepala rumah tangga kepresidenan dan memohon izin untuk bisa mewawancarai Presiden Soeharto, Anies dan teman-temannya dimarahi habis-habisan. ”Apa-apaan ini? Tidak ada wawancara dengan Presiden!” kata staf kepresidenan itu penuh kemarahan. Tetapi, dengan sikap tenang, Anies dan teman-temannya memberikan pengertian kepada pejabat tersebut. Setelah berdialog hampir satu jam, pejabat tersebut akhirnya bisa mengerti. ”Saya janjikan kalian bisa wawancara dengan Pak Harto, tetapi tidak sekarang,” katanya.

Malam itu mereka kemudian dipertemukan dengan Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto, tetapi hanya sekadar bertegur sapa. ”Sekarang Bapak capai. Nanti kapan-kapan di Jakarta saja, ya, Anak-Anak...,” kata Ibu Tien, ramah. Meski demikian, Anies bersama teman-temannya tidak pulang dengan tangan hampa. ”Sekarang, kalau kalian ingin wawancara dengan pejabat siapa pun, saya akan bawa kemari. Silakan mau pilih menteri siapa,” lanjut kepala rumah tangga kepresidenan itu.

Dalam waktu hampir bersamaan, Laksamana (Pur) Sudomo, saat itu menjabat sebagai Menteri Koperasi, melintas di tempat duduk mereka. Anies pun spontan meminta tolong kepada kepala rumah tangga kepresidenan untuk bisa mewawancarai mantan Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Ketertiban dan Keamanan) yang sangat disegani itu. ”Dom... Dom, iki bocah-bocah soko TVRI Yogya pengin ketemu awakmu (ini anak-anak TVRI Yogya ingin bertemu kamu)!”

Saat ia bersama timnya dari Yogya berangkat ke Jakarta, Presiden Soeharto ternyata tengah berada di luar kota. Kepala rumah tangga kepresidenan kemudian menawari Anies untuk mewawancarai Ibu Tien Soeharto. Anies setuju. ”Saat Ibu Tien wafat, rekaman wawancara saya itulah yang berulang kali diputar ulang di TVRI Pusat Jakarta. Rupanya, tidak ada wawancara lain yang cukup panjang,” kenangnya.


NYARIS DITOLAK GADIS PUJAAN

Saat Anies mengungkapkan perasaannya, hati gadis itu berbunga-bunga. Tetapi, kenapa setelah itu si gadis justru sangsi dan khawatir?

Sibuk dan sibuk. Itulah kekhawatiran utama Fery Farhati Ganis S.Psi, M.Sc., yang saat itu masih menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, saat ’dilamar’ oleh Anies di sebuah resto di Yogyakarta. Kekhawatiran Fery itu akhirnya menjadi realitas kehidupan Anies, yang kini telah menjadi suami dan memberinya empat anak, Mutiara Annisa (12), Mikail Azizi (9), Kaisar Hakam (4), Ismail Hakim (4 bln).

Saat femina datang pada hari Sabtu, hari pertama puasa, Anies tidak libur juga. Pagi-pagi ia sudah menerima PBS (Public Broadcasting Station). Stasiun televisi Amerika ini memiliki program 30 menit yang digemari masyarakat Amerika Serikat yang dibawakan oleh Jim Lehrer, moderator langganan acara Debat Calon Presiden Amerika. Anies diwawancara untuk topik tentang Indonesia, Islam, dan Demokrasi.

Di tengah wawancara yang ia sambi melayani putra-putrinya dan diramaikan kicau 10 burung di rumahnya di kawasan Lebak Bulus, ponselnya beberapa kali berdering. Anies seakan lupa, ia nyaris ditolak oleh wanita yang untuk pertama kali mengisi relung hatinya itu, karena kesibukan yang terus menderanya.

JATUH CINTA PADA SEPUPU

Kisah cinta antara Anies dan Fery agak unik. Dua sejoli ini sesungguhnya sudah saling mengenal sejak kecil, karena masih ada hubungan keluarga. Fery yang dilahirkan di Kuningan itu adalah keponakan Aliyah, ibunda Anies. Tahun 1989, ketika keduanya diterima sebagai mahasiswa UGM, keduanya sudah sering kali bertemu dan mengobrol. Tempat kos Fery pun berseberangan dengan rumah orang tua Anies. Tapi, entah kenapa, hati Anies belum juga terusik melihat kecantikan sepupunya itu. Mata Anies masih terus berusaha menelisik gadis-gadis yang berseliweran di sekitarnya.

Sebagai pemuda tampan, terkenal, dan pandai, sejak SMA Anies banyak digandrungi gadis-gadis. Entah sudah ada berapa surat cinta yang menyelinap di saku atau tas sekolahnya. Tetapi, semuanya dibiarkan lewat begitu saja. Anies bukan tidak ingin menikmati masa mudanya itu bersama gadis-gadis cantik di sekitarnya. Namun, ia selalu ingat pesan ayahnya, ”Jangan coba-coba memulai sesuatu, kalau kemudian hanya ingin mengakhiri!”

Pesan itu sepintas terasa sangat sederhana. Namun, kalau diresapi, maknanya begitu dalam. ”Saya juga ingin punya pacar. Tetapi, karena tidak ada keberanian untuk memulai dan main-main, maka saya memilih untuk tidak pacaran. Saya menyadari, Yogya itu kota kecil. Kalau saya sampai pacaran atau berbuat sesuatu yang agak miring, maka seluruh orang Yogya akan mengetahuinya,” katanya. Akhirnya Anies memutuskan untuk tidak berpikir tentang wanita sampai ia menyelesaikan kuliah di UGM.

Namun, bukan berarti Anies lalu mengenakan kacamata kuda. Ia terus mengamati gadis-gadis di sekelilingnya. Sebuah pengamatan panjang yang agak melelahkan, sekaligus mengasyikkan. ”Saya juga pernah naksir pada wanita, dan saya juga tahu ada pemandangan yang indah-indah, tetapi saya tidak pernah berani untuk melakukan action!” ujarnya, tertawa lepas.

Tanpa harus memacari mereka, usai merampungkan tugas KKN di kampusnya tahun 1994, Anies akhirnya menyadari siapa gadis terbaik untuknya. Suatu sore yang cerah, Anies memberanikan diri mengajak Fery pergi. Dengan mobil tua orang tuanya, Anies untuk pertama kalinya pergi berduaan dengan seorang gadis.

Malam demikian indah. Lampu yang redup, musik mengalun lembut, dan jamuan lezat, membuat suasana resto tempat pertemuan dua anak muda itu menjadi sangat romantis. Anies berusaha menata kata demi kata, agar bisa terurai dengan indah. Tetapi, ternyata tidak mudah. Meski sudah sangat terbiasa berpidato, tak urung satu dua butir keringat dingin Anies pun mengalir. ”Tidak ada sedikit pun keluar kata-kata cinta malam itu,” tutur Fery.

Anies memulai pembicaraan dengan mengeluarkan selembar kertas yang berisi rencana-rencana hidupnya. Antara lain, tahun sekian ia merampungkan kuliah, dan setelah itu dia akan menikah. Program selanjutnya, ia akan mencari beasiswa untuk meneruskan pendidikan S-2 dan S-3 ke Amerika. Tetapi, tiba-tiba Anies memandang Fery dengan tatapan mesra, sembari berucap lembut, ”Anies ini tertarik sama Fery. Anies ingin hidup bersama Fery.”

Fery diam. Meski sebelumnya sudah memperkirakan ada sesuatu yang ingin dibicarakan sepupunya itu, tak urung wajah Fery sedikit memerah malu. Hatinya berbunga-bunga, tapi Fery tidak mau lepas kendali. ”Gadis mana yang tidak tertarik pada Mas Anies saat itu? Orangnya cakep, terkenal, santun, dan smart. Di senat dia aktif, sering muncul di teve, dan menjadi pembicaraan di antara teman-teman perempuan. Tetapi, kenapa ia justru mendatangi saya?”

BUDAYA IBU

Ada banyak faktor kenapa Anies memilih berlabuh pada Fery. Sejak remaja ia acapkali berinteraksi dengan nenek dan ibunya, tentang peran ideal seorang istri dan bagaimana membangun rumah tangga yang baik. ”Saya berkesimpulan, warna, suasana, budaya, dan kebiasaan di rumah itu ditentukan oleh ibu. Ayah memang punya peran. Tetapi, nyatanya yang mewarnai anak adalah ibu!”

Fery yakin, sebelum berbicara, Anies tentu sudah berpikir lama. Dan, meski cinta telah menyelimuti hatinya, mendadak berbagai pertanyaan menyerang benaknya. ”Sanggupkah saya menemani Mas Anies yang sibuk? Apakah saya dan anak-anak akan mendapat waktu yang cukup? Apakah saya bisa diterima oleh kelompok orang-orang sibuk itu?”

Ibunyalah yang membesarkan hati Fery. ”Anies itu orang baik, pekerja keras, dan santun. Sekarang dia berniat baik. Allah tidak akan menjodohkan kamu, kalau dia memang bukan jodoh kamu. Semua terpulang kepada kamu!”
Kekhawatiran Fery akan dinomorduakan oleh kesibukan Anies, sedikit demi sedikit mulai surut ketika Anies memberikan perhatian yang lebih kepadanya. Dia baru tahu bahwa Anies itu orangnya sangat sabar, telaten, penuh pengertian, dan romantis. ”You are a sweet girl!” seperti itulah cara Anies memuji Fery.

Anies merasa, perasaan cinta itu berbeda dengan nafsu atau sekadar suka. Eksistensi cinta terasa bila jauh menjadi rindu. Walau komitmen keduanya sudah makin bulat, mereka tetap menjaga untuk tidak selalu sering berduaan. Tepatnya, mereka jarang sekali berpacaran. Satu setengah tahun kemudian kedua orang tua Anies melamar Fery. Pada 11 Mei 1996, sejoli yang sama-sama baru pertama kali mengalami saling jatuh cinta ini pun menikah.

Lulus kuliah tahun 1995, Anies kemudian meneruskan pekerjaannya sebagai peneliti dan koordinator proyek di Pusat Antar-Universitas Studi Ekonomi UGM. Tahun 1996, Anies bersama istrinya berangkat ke Amerika untuk melanjutkan pendidikan master di University of Maryland. Lulus sebagai master, ia mendapatkan beasiswa dari Northern Illinois University untuk program doktoral.


NYARIS DITOLAK GADIS PUJAAN

Saat Anies mengungkapkan perasaannya, hati gadis itu berbunga-bunga. Tetapi, kenapa setelah itu si gadis justru sangsi dan khawatir?

IP MINIMAL 3,75
Berbeda saat kuliah di Tanah Air, di Amerika Anies tidak terlalu aktif di organisasi. Ia hanya ikut konferensi di beberapa tempat, seperti di Washington, dan Atlanta. Itu pun saat menjelang akhir kuliah. Maklum, beasiswanya sudah pas-pasan untuk hidup sendiri, sementara ia harus hidup dengan istri dan dua anak.

Meski Fery mendapat beasiswa untuk mengambil program pendidikan master, tak urung uang mereka mepet juga. Karena itu, keluarga kecil ini harus hidup hemat. Berbelanja harus teliti dan sesuai daftar barang yang dibutuhkan. Anies sampai menemukan cara merapikan baju tanpa harus disetrika. Selesai dicuci, baju itu dijemur sedemikian rupa. Sehingga, begitu kering, bentuknya seperti sudah disetrika. Kalau mobil ngambek, ia tidak berani membawa ke bengkel, karena biayanya mahal. Anies pun menjadi montir, sementara onderdil dibeli di tempat penjualan mobil bekas/kiloan.

Tujuan utama mereka berada di Amerika adalah untuk belajar. ”Sekolah di sana tidak mungkin tidak belajar, karena di sana nilai harus tinggi!” tegasnya. ”Kalau IP (indeks prestasi) turun, maka beasiswa bisa dihentikan. Bagi penerima beasiswa, minimal IP-nya harus 3,75. Kalau nilainya kurang dari itu, diberi waktu satu semester untuk memperbaiki. Kalau tidak bisa memperbaiki juga, ya... tidak akan ada maaf lagi! Alhamdulillah... IP saya tidak memalukan. Tetapi, kalau harus diomongin, ya... saru. Pamali,” tuturnya. Setiap minggu Anies paling tidak harus membaca 1.000 sampai 1.500 halaman. Anies merasa sangat beruntung mempunyai kedua orang tua dan kakek yang hobinya membaca. ”Koleksi buku Eyang ada ribuan. Saat beliau wafat, Abah kemudian merapikan dan membuat perpustakaan mini di rumah.”

Tahun 2004, kuliah selesai, tetapi ia tidak bisa pulang karena tidak mempunyai cukup bekal. Anies lalu bekerja di IPC, Inc. Chicago, sebuah asosiasi perusahaan elektronik sedunia. Karena sudah doktor, ia diterima menjadi manajer riset, dengan gaji sekitar 48.000 dolar AS setahun. Tetapi, ternyata uang yang ia terima tidak sebanyak itu, karena harus dipotong pajak, tunjangan hari tua, social security, dan sebagainya.


BEASISWA UNTUK MAHASISWA

Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan ketika dia mendapat tawaran menjadi rektor Universitas Paramadina (UPM), yaitu apakah secara intelektual ia bisa tumbuh, apakah dirinya tetap bisa menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, dan apakah amanat ini mempunyai pengaruh sosial? ”Saya melihat, di kampus Paramadina, saya bisa tumbuh secara intelektual dan posisi itu bisa mendorong saya berbagi kepada masyarakat,” tegasnya.

Tapi, Anies tetap perlu waktu untuk memutuskan tawaran itu. Sebagai direktur riset The Indonesian Institute, penghasilannya jauh melampaui penghasilan sebagai seorang rektor. ”Dari segi income, ini suatu penurunan yang cukup jauh. Saya perlu waktu cukup lama untuk memikirkan hal ini, apakah jalur ini harus saya ambil atau tidak,” tambahnya.

Beruntung Fery tidak mempermasalahkan hal itu. ”Selama dia menyukai dan enjoy dengan pekerjaan itu, urusan penghasilan tidak menjadi masalah!” Fery menjawab.

Tanggal 15 Mei 2007, ketika dilantik sebagai rektor, Anies bertekad menyukseskan program UPM, yaitu menyiapkan generasi masa depan Indonesia. ”Bila ingin mengubah wajah negeri ini, kita harus fokus pada anak muda dan bidang pendidikan. Pendidikan yang terbaik hanyalah di universitas,” katanya.

Sembilan tahun yang lalu, ketika universitas ini didirikan oleh cendekiawan muslim, Prof. Dr. Nurcholish Madjid (alm), Anies masih sebagai mahasiswa pascasarjana di University of Maryland. Saat menghadiri wisuda di Boston, ia terkesan pidato Joseph Nye, Dekan Kennedy School of Government di Harvard University. Menurutnya, salah satu keberhasilan universitasnya adalah ’admit only the best’. Hanya menerima yang terbaik! Dari sinilah ia kemudian menggagas rekrutmen anak-anak terbaik Indonesia.

Sejak itu ia langsung mencanangkan Paramadina Fellowship sebagai Strategi Rekayasa Masa Depan. Anak-anak terbaik itu dibiarkan untuk fokus pada masa depan mereka, dan universitas memfasilitasi melalui beasiswa yang komprehensif. Beasiswa itu meliputi biaya kuliah, buku, dan biaya hidup.

Niat luhur itu tentu bukan seperti membalikkan tangan. Beasiswa yang dirancang itu sangat mahal, yaitu bagi mahasiswa Jabotabek Rp65 juta, dan Rp100 juta untuk mahasiswa dari luar Jabotabek (per tahun 2008). Perhitungannya, Rp20 juta untuk biaya tahun pertama, dan sisanya diinvestasikan. Keuntungan investasi itu bisa mencapai Rp30 juta, dan ini bisa dipakai untuk dana abadi. Anies sadar betapa sulit meyakinkan para calon sponsor beasiswa, karena dunia pendidikan dan bisnis memiliki ’bahasa’ yang berbeda. Anies mempresentasikan idealisme dengan bahasa bisnis. Ia mengadopsi konsep penamaan mahasiswa yang sudah lulus, seperti yang biasa digunakan di banyak universitas di Amerika Utara dan Eropa. Caranya, titel seorang profesor mencantumkan nama sponsor risetnya. Misalnya, jika mahasiswa mendapatkan dana dari Mien R. Uno (seorang pendonor), maka mahasiswa tersebut diwajibkan menggunakan titel Paramadina Mien R. Uno Fellow.

Responsnya sangat luar biasa. ”Dukungan secara pribadi ataupun institusi dari berbagai sektor sungguh mengharukan. Hal ini membuktikan bahwa dunia usaha peduli pada masa depan bangsa.” Donatur yang datang memang beragam: pribadi, lembaga survei, perusahaan media massa, perbankan, sampai jaringan bioskop.

Sambutan calon peserta beasiswa pun sangat luar biasa. Tahun 2008, seleksi di 14 kota di seluruh Indonesia diikuti oleh 1.300 pendaftar. Dari jumlah tersebut akhirnya terpilih 69 lulusan SLTA, yang nantinya diharuskan merampungkan pendidikan maksimal selama empat tahun dengan IP minimal 3. Untuk tahun 2009 ini, UPM menargetkan ada 100 mahasiswa penerima beasiswa, sehingga dengan peserta beasiswa untuk program pascasarjana (di berbagai universitas), jumlah seluruh peserta Paramadina Fellowship adalah hampir 25 persen dari 2.000 jumlah mahasiswa UPM. Sungguh suatu sumbangan Anies yang tidak kecil bagi generasi muda negeri ini.


DIAKUI DUNIA

Anies tidak pernah mengira namanya masuk dalam daftar intelektual dunia versi Foreign Policy (2008). Jurnal berpengaruh terbitan AS ini, rutin menggelar nominasi 100 intelektual dunia, yang kemudian dipilih 20 nominator. Dari 100 orang yang sudah disusun, publik dipersilahkan memilih intelektual terbaik. ”Saya tidak tahu kalau dinominasikan,” katanya. ”Saya baru tahu saat pengumuman itu ditulis. Jadi seluruh informasi tentang saya, mereka cari sendiri tanpa sepengetahuan saya.”

Kriteria daftar bergengsi ini adalah aktivitas publik keintelektualnya, yang tak hanya berpengaruh di dalam negeri, tapi harus melampaui batas negaranya. Komposisi yang terpilih adalah 36 dari Amerika Utara, 30 dari Eropa, 4 dari Amerika Latin, 11 dari Timur Tengah, 4 dari Afrika, 12 dari Asia, dan 3 dari Asia Tenggara dan Oseania.

Anies disejajarkan di antaranya dengan Lee Kuan Yew (menteri mentor Singapura), Al Gore (aktivis lingkungan/mantan Wakil Presiden AS), Francis Fukuyama (ilmuwan AS), Muhammad Yunus (peraih Nobel Perdamaian dari Bangladesh). Sebagai orang yang berobsesi ingin menjadi seorang intelektual berkelas internasional, Anies tentu sangat senang. ”Penominasian ini menunjukkan Indonesia memiliki potensi intelektual yang sama dengan negara lain. Ini bukan hal yang mustahil!” katanya.

Menurut Anies, bangsa Indonesia sudah lama memiliki tradisi intelektual. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Sjahrir,Agus Salim, dan lainnya pernah tersohor di kalangan internasional. ”Saya ingin tokoh-tokoh intelektual kita juga kembali muncul sebagaimana mereka,” tandasnya.

Dibalik cerita Sang Guru, Anies Baswedan “ Be Optimistic with This Republic”



Dibalik cerita Sang Guru, Anies Baswedan
“ Be Optimistic with This Republic”
            Be optimistic with this republic” tulisan tangan tersebut tertulis rapi di halaman depan buku “ Korupsi Mengorupsi Indonesia, yang diadakan pada tanggal 12 Januari 2010  bertempat di gedung Financial Grup, Buku anti korupsi ini merupakan inisiatif positif dari kalangan profesional dan akademisi untuk mendukung usaha pemerintah dalam pemberantasan korupsi, acara launching buku tersebut dihadiri para tokoh diantaranya Mantan preside RI, Bapak Jusuf Kalla, Sandiaga Uno, Denny Indrayana, Dewi Motik dan tokoh lainnya.
            Mengapa tulisan tersebut mengandung arti optimisme untuk republik Indonesia tercinta?Apakah sudah banyak yang ragu dnegan Indonesia? Mungkin karena korupsi merajalela, pengangguran semakin tinggi, banyak masyarakat putus sekolah dan kriminalitas semakin tinggi, sehingga optimisme, harpan dan impian hilang, Indonesia redup, gelap dan suram. Mungkin hal inilah yang tersirat di balik tulisan tersebut, dan tulisan tangan tersebut adalah Tulisan Bapak Anies Baswedan di buku setebal  1117 halaman tersebut di tulis oleh Ridwan Zachrie dan Wijayanto dengan  Penerbit Gramedia Pustaka Utama yang berasal dari bunga rampai atau kumpulan tulisan mengenai korupsi dan ulasan komprehensif dari para pakar dan pejuang antikorupsi tentang berbagai aspek korupsi di Indonesia yang merupakan akumulasi pengetahuan dan pengalaman 30-an pakar dari berbagai bidang yang berasal dari berbagai negara itu menjadi buku yang bersejarah yang menyambut saya di Jakarta dengan warna cover putih dengan tulisan merah yang kontras,  buku dengan simbolis  warna nasionalismenya yang  sangat kuat seolah mengirim pesan Indonesia free from corruption !
            Dalam acara tersebut Pak Anies memberikan kata sambutan dalam acara diskusi dan peluncuran buku tersebut. Menurut beliau korupsi bagaikan virus yang menggerogoti bangsa dan membahayakan karena roda bernegara bisa lumpuh total, dan korupsi bukan hanya dalam ranag mengambil uang rakyat namun wajah korupsi juga bisa berbentuk kebijakan yang merugikana masyarakat dan abnagsa karena tidak arif dalam mengambil langkah dan keputusan yang seyogyanya bertujuan untuk kemaslahatan orang banyak.
           
Mendengar ulasan tersebut ada entry point yang saya dapatkan yakni menengarai suatu persoalan dengan memperbaiki sistem, jadi dengan mencari solusi permasalahan korupsi maka pembangunan akan berjalan legbih baik kedepan, tentu saja dengan memperbaiki sistem dan hukum yang jelas maka good governance akan terwujud dengan adanya transfaransi, hal yang sangat mendasar namun dibutuhkan bangsa ini.
            Waktu berlalu, saya harus menjalani lagi seleksi wawancara, saya satu-satunya calon mahasiswa yang berasal dari luar Pulau Jawa waktu itu hanya berdoa semoga semua berjalan lancar, karena mengejar penerbangan sore, dengan harga tiket yang lumayan mahakl waktu itu, bisa kacau kalau saya ketinggalan pesawat namun saya merasa senang waktu itu karena  bertemu dengan banyak rekan-rekan seperjuangan, kandidat mahasisswa S2 Paramadina.  Mereka memang sosok-sosok pilihan, kebanyakan diantara kami adalah aktifis di dunia jurnalistik dan LSM,  pada  pertemuan yang singkat menunggu giliran wawancara dengan kegugupan tingkat tinggi kami berbagi cerita, tawa, inspirasi dan semangat di lobby kampus di  gedung Energy Building lantai 22 itu, kami  sedikit nervous diwawancarai para  master dan doktor lulusan Amerika, dan masih tersimpan di memori kenangan yang begitu indah dan tidak bisa terlupakan, kelak cerita bergulir karena diantara masing-masing kami sibuk berjuang menuju mimpi-mimpi jiwa muda ditengah tugas kuliah yang menumpuk.
Kelas Perdana,  Sang Rektor Datang, semua senang
            Saya tak pernah menduga sebelumnya sosok itu kelak akan menjadi Rektor saya di  kampus S2 Universitas Paramadina, karena kedatangan saya ke Jakarta akhirnya berbuah manis dan resmi menjadi mahasiswa S2 Hubungan Internasional jurusan Diplomasi Program fellowship yang disponsori oleh Medco foundation. Saya begitu semangat dan duduk paling depan, disamping saya adalah Pak Makarim Wibisono yang kelak menjadi dosen saya, beliau adalah former ambassador untuk PBB dan Chairman ASEAN Foundation, saya sempat bercakap-cakap dengan beliau dan mengatakan ketertarikan saya dengan ilmu diplomasi ekonomi, beliau memberi motivasi untuk tekun belajar.
            Dan dihadapan saya hadir seorang sosok yang pernah saya lihat pada acara launching buku Korupsi Mengorupsi Indonesia, beliaulah Anies Rasyid Baswedan, dalam acara kuliah umum perdana seluruh mahasiswa S2 yang terdiri dari Mahasiswa Jurusan Komunikasi Politik, Komunikasi Perusahaan, Manajemen Strategik, Ekonomi Syariah dan Hubungan Internasional, beliau berbicara di podium dan menyampaikan  ucapan selamat dengan penuh suka cita dan memberikan kata sambutan dengan analogis yang menarik, sehingga kesan pertama melihat beliau adalah seorang sosok yang visioner dan optimistis, dua kata tersebut terus terbukti dalam berbagai kelas yang saya ikuti bersama beliau mulai dari kelas mata kuliah Diplomasi, ASEAN, dan mata kuliah lainnya, Beliau selalu mencoba membangun interaksi dengan mahasiswa agar mau mengutarakan pendapat sehingga membangun cakrawala berpikir. Uniknya daya ingat beliau cukup tinggi, saat itu beliau bertanya “ anda dari mana?” mungkin karena mendengar dialek saya yang terdengar agak berbeda. Saya tersenyum dan mengatakan “ saya  dari Medan Pak “,  jawab saya singkat. “oh mendengar Medan saya selalu teringat semangatnya kata beliau,
            Memang menurut biografi tentang beliau yang saya baca Pak Anies adalah seorang anak yang aktif dan kritis, dari  sejak sekolah SD hingga kuliah. Beliau juga pernah terpilih untuk mengikuti program pertukaran pelajar AFS di Amerika, sehingga jiwa leadership dan nasionalisme beliau tertempa utuh. Daya ingatnya juga cukup tinggi, itu terbukti saat saya menghadiri seminar ASEAN dimana Bapak Mentri Luar Negeri Marty Natalegawa hadir sebagai pembicara dan saya memberanikan diri untuk bertanya tentang dinamika ASEAN dalm konteks people to people contact,  dan ternyata Pak Anies masih mengingat saya dan saat di mata kuliah ASEAN berikutnya dia berkata,  Anda  yang bertanya kemarin acara seminar ASEAN bukan, pertanyaan yang bagus?  Apresiasi beliau di kelas,  dan Begitulah Pak Anies sosok guru bagi saya yang memang terlahir dari pasangan orangtua guru yang bergerak di ranah pendidikan
Satu kata untuk Pak  Anies, setelah setahun berlalu, Inspiratif
            Saya ingat sekali saat mengikuti kuliah umum dan mendengarkan kata sambutan beliau soal pendidikan. “Pendidikan itu adalah eskalator ynag mampu menganggkat seseorang menuju  tangga berikutnya” begitu kira-kira kata-kata yang masih saya ingat dan membekas dalam. Dan filosofis tersebut jualah yang menghantarkan saya meninggalkan kampung halaman dan menuntut ilmu di ibukota dan berdamai dengan macetnya Jakarta, sejenak meningggalkan hening menuju kota yang riuh.
            Setelah selesai mata kuliah Diplomasi dan ASEAN, saya bersama rekan mahasiswa yang lain biasanya ngobrol dengan beliau di lobby, dan disana kami berbicara ide tentang Indonesia Mengajar, dan saat itu saya begitu tertarik dan bercerita bahwa almarhum Bapak saya juga pernah menjadi pejuang literasi  untuk mengajari anak  dan orang tua baca tulis di sebuah pedesaan di pulau Nias dan itu menjadi inspirasi bagi saya dan obrolan kami ternyata tak berhenti disitu, tak lebih dari dua bulan pak Anies akhirnya mewujudkan “ Indonesia  Mengajar”  hingga program-program Kelas Inspirasi menyita banyak minta relawan untuk mendaftar dan yang menarik program kelas Inspirasi kedua yang serentak dilaksanakan di seluruh sekolah di Indonesia diadakan pada tanggal 25 April 2012 yang bertepatan hari ulang tahun saya,  namun sayang sekali tak bisa saya hadiri berhubung ada tugas
            Pak Anies Baswedan berhasil mewujudkan insiatif sederhana dengan mengajar pada sekolah-sekolah SD di seluruh Indonesia, namun memberi pengaruh besar pada sebuah perubahan yakni “ kesadaran” kepada semua pihak, baik masayarakat, swasta dan pemerintah bahwa pendidikan adalah hak semua rakyata Indonesia dan setiap kita bisa mengambil peran di dalamnya baik dalam porsi kecil maupun besar sesuai dengan kapasitas masing-masing. 
            Bahkan “ kesadaran” yanng saya terjemahkan  abstarak bagaikan Early Warning System (Sistem Detreksi Dini), dengan pengertian akumulasi kebodohan akan berkorelasi dengan kemiskinan, untuk itu perlu memberikan harapan kepada anak-anak indonesia untuk terus belajar dan bersekolah dan meningkatkan pendidikan mereka, karena penduduk Indonesia dengan populasi 250 juta merupakan aset bangsa jika memiliki SDM yang berkualiatas yang berpotensi dengan 60 % usia produktif yang kelak menjadi leader di masa depan.
            Pertemuan berikutnya dengan Pak Anies Baswedan pada bulan Pebruari 2013 di Bandung bertempat di Gedung Indonesia Menggugat dalam acara Indonesia Youth Changemaker, saat itu  beliau hadir sebagai pembicara, dan seperti biasa memberi aura tentang emangat pemuda yang harus mampu berpikir melampaui zamannya seperti founding father, Soekarno dan sebagainya. Beliau mengatakan Pendidikan adalah eskalator kehidupan untuk naik tangga berikutnya, dan hal ini terbukti nyata  saat  banyak orangtua di pedesaan yang berjuang untuk menyekolahkan anaknya hingga menjual sawah dan kerbau  bisa sekolah ke jenjang berikutnya,yang penting. Begitu juga dengan masyarakat di perkotaan juga menyekolahkan anaknya  di sekolah perkotaan yang berstandar internasional, bahkan hingga ke luar negeri agar anaknya sukses kelak, yang menarik dari sosok Anies Baswedan saat menginspirasi dengan berkarya untuk anak bangsa, beliau juga sering menjadi pembicara dalam berbagai forum muda dan pernah terpilih menjadi satu diantara 100 tokoh yang Intelektual Publik Dunia. Anies Baswedan  merupakan satu-satunya orang Indonesia yang masuk pada daftar hasil rilis majalah tersebut. Dalam daftar itu nama Anies sejajar dengan tokoh dunia seperti Noam Chomsky (tokoh perdamaian), para penerima nobel seperti Shirin Ebadi, Al Gore, Muhammad Yunus, dan Amartya Sen.
            Salah satu ungkapan beliau yang menarik dari beliau adalah tentang janji kemerdekaan untuk  memberi perlindungan bagi setiap warga negara. Menurut beliau Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara. Beliau mengilustrasikan Republik ini sebagai sebuah tenun kebangsaan yang dirajut dari kebhinekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis yang sangat unik. Kekerasan atas nama apapun akan merusak tenun tersebut. Dalam soal perlindungan terhadap warga negara atas kekerasan yang kerap terjadi menurut Anies Baswedan harus dilihat sebagai warga negara menyerang warga negara lainnya, terjadi bukan soal mayoritas lawan mayoritas. Negara memang tidak bisa mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan warga negaranya. Namun menurut negara sangat bisa mengatur cara mengekspresikannya. Dialog antar pemikiran setajam apapun boleh, namun begitu berubah jadi kekerasan maka pelakunya berhadapan dengan negara dan hukum,, ilustrasi tenun tersebut begitu indah dan artistic, mungkin karena semasa kecil beliau tinggal dan sekolah di Jogjakarta sehingga jiwa seni, estetika dan pemikiran menghadirkan originalitas ide beliau yang sederhana namun menarik dan mengusik setiap orang untuk merenung dan berpikir.
Pikir Itu Pelita Hati, dan Pelita itu menjadi Indonesia Menyala
           Membangun Indonesia memang harus dimulai dengan langkah sederhana  yang klonkrit namun memberi terang setelah kegelapan, setelah menyiapkan program pengajar muda, yang dibutuhkan selalnjutnya adalah infrastruktur yakni  membangun  perpustakaan-perpustakaan yang bertempat di wilayah penempatan Pengajar Muda. Perpustakaan Indonesia Menyala terdiri dari dua bentuk yakni perpustakaan tetap dan perpustakaan berputar. Perpustaakaan tersebut berisi buku-buku yang dikumpulkan oleh para relawan dan pengajar muda  yang diluncurkan pada 15 April 2011. Hal ini merupakan pemikiran pengajar muda yang melihat kebutuhan akan bahan bacaan yang bermutu  sehingga buku pun dapat di akses dan sebar di masyarakat melalui perpustakaan tetap dan perpustakaan berputar. Uniknya,  perpustakaan berputar, berbentuk sebuah tas yang dibawa keliling oleh Pengajar Muda untuk dibaca oleh masyarakat sekitar. Dan sekali lagi terbukti Indonesia Menyala  akhirnya membuka akses terhadap bacaan yang terbatas pada masyarakat masyarakat pedesaan di Indonesia, sehingga pendidikan adalah hak masyarakat Indonesia.
            Regenarasi ide  menjadi  mengalir dengan sendirinya karena program Indonesia Menyala adalah regeneras dari Ide Indonesia mengajar, begitulah simpul yang terikat dan menjadi kuat dibalik sosok yang memberikan pengaruh pada masyarakat sehingga dengan sendrinya masyarakat dan anak-anak muda, swasta dan pemerintah tergerak bekerjasama dan menginisiasi dan mereproduksi ide yang sama seperti UI mengajar dan sebagainya, dan anies Baswedan tentu tidak pernah menyangka bahwa program tersebut menggerakkkan jiwa yang diam menjadi bergairah dan hangat untuk menerobos batas dan melampaui mimpi suatu generasi, dan data terakhir seleksi Indonesia mengajar selalu ditunggu anak-anak muda Indonesia yang cerdas, berprestasi dan kreatif, sudah ada enam angkatan dan menunggu angkatan ketujuh biasanya yang diterima hanya tujuh puluhan pengajar yang berhasil diseleksi dari ribuan berkas, sungguh prestasi yang sangat terpuji karena sudah berjalan berkelanjuttan dnegan kualitas pengajar yang teruji mental, nasionalisme dan ilmunya untuk berbagi dengan masyarakat di pelosok, di pulau-pulau Indonesia, dan kelak senyum anak bangsa akan semakin cerah karena semua menjadi equal , dan pembedanya adalah kemauan untuk selalu menjaga nyala di jiwa, sebagai “ pelita” yang kelak akan bersinar, dan obor pelita tersebut bisa saja dibawa oleh anak-anak bangsa di pelosok yang terinfirasi membangun negeri, karena kepedulian selalu beradsal dari ketulusan.
Anies Baswedan For RI 1?
Apakah anies baswedan siap menjadi presiden Republik Indonesia,mari kit abaca dari surat beliau di bawah ini, karena saya tidak bisa menafsirkan sendiri, inilah surat beliau dan surat ini bernada sama dalam buku yang saya baca  Surat dari dan untuk Pemimpin” terbitan Tempo Institute yang berisi himpunan surat dari birokrat, jurnalis, pengusaha, CEO, rohaniwan, seniman, artis, aktivis pengembangan masyarakat, tokoh penegakan hukum, dan penulis kepada semua pemuda dan calon pemimpin bangsa, inilah surat Pak Anies Baswedan, silahkan dibaca dan direnungkan
Saya menulis surat ini terkait dengan perkembangan baru yang datangnya amat cepat dan saya merasa perlu untuk mengirimkan surat ini secara pribadi. Beberapa waktu yang lalu, saya diundang untuk turut konvensi. Saya diundang bukan untuk jadi pengurus partai, tetapi untuk diseleksi dan dicalonkan dalam pemilihan presiden tahun depan. Saya semakin renungkan tentang bangsa kita, tentang negeri ini.
Pilih turun tangan, ikut bertanggung jawab.
Para pendiri Republik ini adalah kaum terdidik yang tercerahkan, berintegritas, dan berkesempatan hidup nyaman tapi mereka pilih untuk berjuang. Mereka berjuang dengan menjunjung tinggi harga diri, sebagai politisi yang negarawan. Karena itu mereka jadi keteladanan yang menggerakkan, membuat semua siap turun tangan. Republik ini didirikan dan dipertahankan lewat gotong royong. Semua iuran untuk republik: iuran nyawa, tenaga, darah, harta dan segalanya. Mereka berjuang dengan cara terhormat karena itu mereka dapat kehormatan dalam catatan sejarah bangsa ini.
Kini makna “politik” dan “politisi” terdegradasi, bahkan sering menjadi bahan cemoohan. Tetapi di wilayah politik itulah berbagai urusan yang menyangkut negara dan bangsa ini diputuskan. Soal pangan, kesehatan, pertanian, pendidikan, perumahan, kesejahteraan dan sederet urusan rakyat lainnya yang diputuskan oleh negara. Amat banyak urusan yang kita titipkan pada negara untuk diputuskan.
Di tahun 2005, APBN kita baru sekitar 500-an triliun dan di tahun ini sudah lebih dari 1600 triliun. APBN kita lompat lebih dari tiga kali lipat dalam waktu kurang dari delapan tahun.Kemana uang iuran kita semua digunakan? Di tahun-tahun kedepan, negara ini akan mengelola uang iuran kita yang luar biasa banyaknya. Jika kita semua hanya bersedia jadi pembayar pajak yang baik, lalu siapa yang jadi pengambil keputusan atas iuran kita?
Begitu banyak urusan yang dibiayai atas IURAN kita dan atas NAMA kita semua. Ya, suka atau tidak, semua tindakan negara adalah atas nama kita semua, seluruh bangsa Indonesia. Haruskah kita semua membiarkan, hanya lipat tangan dan cuma urun angan?
Di negeri ini, lembaga dengan tata kelola yang baik dan taat pada prinsip good governancemasih amat minoritas. Mari kita lihat dengan jujur di sekeliling kita. Terlalu banyak lembaga, institusi dan individu yang masih amat mudah melanggar etika dan hukum semudah melanggar rambu-rambu lalu lintas. Haruskah kita menunggu semua lembaga itu beres dan “bersih” baru ikut turun tangan?
Jika saya tidak diundang maka saya terbebas dari tanggung-jawab untuk memilih. Tapi kenyataannya saya diundang walau tidak pernah mendaftar apalagi mengajukan diri. Dan saya menghargai Partai Demokrat karena faktanya partai ini jadi satu-satunya yang mengundang warga negara, warga non partisan. Di satu sisi, Partai Demokrat memang sedang banyak masalah dan persepsi publik juga amat rendah. Di sisi lain konvensi yang dilakukan oleh Partai Demokrat adalah mekanisme baik yang seharusnya juga ada di semua partai agar calon presiden ditentukan oleh rakyat juga.
Saya pilih untuk ikut mendorong tradisi konvensi agar partai jangan sekedar menjadi kendaraan bagi kepentingan elit partai yang sempit. Kini semua harus memperjuangkan agar konvensi yang dilaksanakan oleh Partai Demokrat ini akan terbuka, fair dan bisa diawasi publik. Saya percaya bahwa penyimpangan pada konvensi sama dengan pengurasan atas kepercayaan yang sedang menipis.
Undangan ini untuk ikut mengurusi negara yang kini sedang dihantam deretan masalah, yang hulunya adalah masalah integritas dan kepercayaan. Haruskah saya jawab, “mohon maaf saya tidak mau ikut mengurusi karena saya ingin semua bersih dulu, saya takut ini cuma akal-akalan. Saya ingin jaga citra, saya ingin jauh dari kontroversi, saya enggan dicurigai dan bisa tak populer?” Bukankah kita lelah lihat sikap tidak otentik, yang sekedar ingin populer tanpa memikirkan elemen tanggungjawab? Haruskah saya menghindar dan cari aman saja? Saya sungguh renungkan ini semua.
Saat peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agutus 2013 adalah hari-hari dimana saya harus ambil keputusan. Saat itu saya menghadiri upacara di Istana Merdeka, bukan karena saya pribadi diundang, tetapi undangan ditujukan pada ahli waris AR Baswedan, kakek kami, dan kami yang berada di Jakarta. Jadi saya dan istri hadir mewakili keluarga.
Seperti biasa bendera merah putih itu dinaikkan dengan khidmat diiringi gelora Indonesia Raya. Dahulu bendera itu naik lewat jutaan orang iuran nyawa, darah dan tenaga hingga akhirnya tegak berkibar untuk pertama kalinya. Menyaksikan bendera itu bergerak ke puncak dan berkibar dengan gagah, dada ini bergetar.
Sepanjang bendera itu dinaikkan, ingatan saya tertuju pada Alm. AR Baswedan dan para perintis kemerdekaan lainnya. Mereka hibahkan hidupnya untuk memperjuangkan agar Republik ini berdiri. Mereka berjuang “menaikkan” Sang Merah-Putih selama berpuluh tahun bukan sekedar dalam hitungan menit seperti saat upacara kini. Mereka tak pilih jalur nyaman dan aman. Mereka juga masih muda, namun tidak ada kata terlalu muda untuk turun tangan bagi bangsa. Berpikir ada yang terlalu muda, hanya akan membawa kita berpikir ada yang terlalu tua untuk turun tangan. Mereka adalah orang-orang yang mencintai bangsanya, melebihi cintanya pada dirinya.
Suatu ketika saya menerima sms dari salah satu putri Proklamator kita. Ia meneruskansms berisi Sila-Sila dalam Pancasila yang dipelesetkan misalnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” diubah jadi “keuangan yang maha kuasa” dan seterusnya. Lalu ia tuliskan, “Bung Anies, apa sudah separah ini bangsa kita? Kasihan kakekmu dan kasihan ayahku. Yang telah berjuang tanpa memikirkan diri sendiri, akan ‘gain’ apa.”
Kini, saat ditawarkan untuk ikut mengurusi negara maka haruskah saya tolak? sambilberkata, mohon maaf saya ingin di zona nyaman, saya ingin terus di jalur aman ditemani tepuk tangan? Haruskah sederetan peminat kursi presiden yang sudah menggelontorkan rupiah amat besar itu dibiarkan melenggang begitu saja? Sementara kita lihat tanda-tanda yang terang benderang, di sana-sini ada saja yang menguras uang negara jadi uang keluarga, jadi uang partai, atau jadi uang kelompoknya di saat terlalu banyak anak-anak bangsa yang tidak bisa melanjutkan sekolah, sebuah “jembatan” menuju kemandirian dan kesejahteraan. Pantaskah saya berkata pada orang tua, pada kakek-nenek kita, bahwa kita tidak mau ikut berproses untuk mengurus negara karena partai belum bersih? Haruskah kita menunggu semua partai beres dan “bersih” baru ikut turun tangan?
Saya pilih ikut ambil tanggung jawab tidak cuma jadi penonton. Bagi saya pilihannya jelas,mengutuk kegelapan ini atau ikut menyalakan lilin, menyalakan cahaya. Lipat tangan atau turun tangan. Saya pilih yang kedua, saya pilih menyalakan cahaya. Saya pilih turun tangan. Di tengah deretan masalah dan goncangan yang mengempiskan optimisme, kita harus pilih untuk terus hadir mendorong optimisme. Mendorong muncul dan terangnya harapan. Ya, mungkin akan dicurigai, bisa tidak populer bahkan bisa dikecam, karena di jalur ini kita sering menyaksikan keserakahan dengan mengatasnamakan rakyat.
Tapi sekali lagi ini soal rasa tanggung-jawab atas Indonesia kita. Ini bukan soal hitung-hitungan untung-rugi, bukan soal kalkulasi rute untuk menjangkau kursi, dan bukan soal siapa diuntungkan. Saya tidak mulai dengan bicara soal logistik atau pilih-pilih jalur, tetapi saya bicara soal potret bangsa kita dan soal tanggung-jawab kita. Tentang bagaimana semangat gerakan yang jadi pijar gelora untuk merdeka itu harus dinyalaterangkan lagi. Kita semua harus merasa turut memiliki atas masalah di bangsa ini.
Ini perjuangan, maka semua harus diusahakan, diperjuangkan bukan minta serba disiapkan. Tanggung-jawab kita adalah ikut berjuang -sekecil apapun- untuk memulihkan politik sebagai jalan untuk melakukan kebaikan, melakukan perubahan dan bukan sekedar mengejar kekuasaan. Kita harus lebih takut tentang pertanggungjawaban kita pada anak-cucu dan pada Tuhan soal pilihan kita hari ini: diam atau turun tangan. Para sejarawan kelak akan menulis soal pilihan ini.
Semangat ini melampaui urusan warna, bendera dan nama partai. Ini adalah semangat untuk ikut memastikan bahwa Republik ini adalah milik kita semua dan untuk kita semua, seperti kata Bung Karno saat pidato soal Pancasila 1 Juni 1945. Tugas kita kini adalah memastikan bahwa dimanapun anak bangsa dibesarkan, di perumahan nyaman, di kampung sesak-pengap tengah kota, atau di desa seterpencil apapun, ia punya peluang yang sama untuk merasakan kemakmuran, keterdidikan, kemandirian dan kebahagiaan sebagai anak Indonesia.
Saya tidak bawa cita-cita, saya mengemban misi. Cita-cita itu untuk diraih, misi itu untuk dilaksanakan. Semangat dan misi saya adalah ikut mengembalikan janji mulia pendirian Republik ini. Sekecil apapun itu, siap untuk terlibat demi melunasi tiap Janji Kemerdekaan. Janji yang dituliskan pada Pembukaan UUD 1945: melindungi, mencerdaskan, mensejahterakan dan jadi bagian dari dunia.
Kita semua sadar bahwa satu orang tidak bisa menyelesaikan seluruh masalah. Dan cara efektif untuk melanggengkan masalah adalah dengan kita semua hanya lipat tangan dan berharap ada satu orang terpilih jadi pemimpin lalu menyelesaikan seluruh masalah. Tantangan di negeri ini terlalu besar untuk diselesaikan oleh satu orang, tantangan ini harus diselesaikan lewat kerja kolosal. Jika tiap kita pilih turun tangan, siap berbuat maka perubahan akan bergulir.
Apalagi negeri ini sedang berubah. Tengok kondisi keluarga kita masing-masing. Negara ini telah memberi kita amat banyak. Sudah banyak saudara sebangsa yang padanya janji kemerdekaan itu telah terlunasi: sudah terlindungi, tersejahterakan, dan tercerdaskan. Tapi masih jauh lebih banyak saudara sebangsa yang pada mereka janji itu masih sebatas bacaan saat upacara, belum menjadi kenyataan hidup.
Di negeri ini masih ada terlalu banyak orang baik, masih amat besar kekuatan orang lurus di semua sektor. Saya temukan mereka saat berjalan ke berbagai tempat. Saat mendiskusikan undangan ini dengan anak-anak generasi baru Republik ini, saya bertemu dengan orang-orang baik yang pemberani, yang mencintai negerinya lebih dari cintanya pada citra dirinya, yang tak takut dikritik, dan selalu katakan siap turun tangan. Akankah kita yang sudah mendapatkan yang dijanjikan oleh Republik ini diam, tak mau tahu dan tak mau turun tangan? Pantaskah kita terus menerus melupakan -sambil tak minta maaf- pada saudara sebangsa yang masih jauh dari makmur dan terdidik?
Bersama teman segagasan, kami sedang membangun sebuah platformwww.turuntangan.org untuk bertukar gagasan dan bergerak bersama. Ini bukan soal meraih kursi, ini soal kita turun tangan memastikan bahwa mereka yang kelak mengatasnamakan kita adalah orang-orang yang kesehariannya memperjuangkan perbaikan nasib kita, nasib seluruh bangsa.
Teman-teman juga punya pilihan yang sama. Lihat potret bangsa ini dan bisa pilih diam tak bergerak atau pilih untuk turut memiliki atas masalah lalu siap bergerak. Beranikan diri untuk bergerak, bangkitkan semangat untuk turun tangan, dan aktif gunakan hak untuk turut menentukan arah negara. Jalur ini bisa terjal dan penuh tantangan, bisa berhasil dan bisa gagal. Tapi nyali kita tidak ciut, dada kita penuh semangat karena kita telah luruskan niat, telah tegaskan sikap. Hari ini kita berkeringat tapi kelak butiran keringat itu jadi penumbuh rasa bangga pada anak-anak kita. Biar mereka bangga bahwa kita tidak tinggal diam dan tak ikut lakukan pembiaran, kita pilih turun tangan.
Saya mendiskusikan undangan ini dengan keluarga di rumah dan dengan Ibu dan Ayah di Jogja. Mereka mengikuti dari amat dekat urusan-urusan di negeri ini. Ayah menjawab, “Jalani dan hadapi. Hidup ini memang perjuangan, ada pertarungan dan ada risiko. Maju terus dan jalani dengan lurus.” Istri mengatakan, “yang penting tetap jaga nama baik, cuma itu yang kita punya buat anak-anak kita.” Ibu mengungkapkan ada rasa khawatir menyaksikan jalur ini tapi Ibu lalu katakan, “terus jalani dengan cara-cara benar. Saya titipkan anak saya ini bukan pada siapa-siapa, bukan kita yang akan jadi pelindungnya Anies. Saya titipkan anak saya pada Allah, biarkan Allah saja yang jadi pelindungnya.”
Itu jawaban mereka. Saya camkan amat dalam sambil berdoa, Insya Allah suatu saat saya bisa kembali ke mereka dan membuat mereka bersyukur bahwa kita ikut turun tangan, mau ikut ambil tanggung-jawab –sekecil apapun itu- untuk republik ini. Ini adalah sebuah jalur yang harus dijalani dengan ketulusan yaitu kesanggupan untuk tak terbang jika dipuji dan tak tumbang jika dikiritik. Bismillah, kita masuki proses ini dengan kepala tegak, Insya Allah terus jaga diri agar keluar dengan kepala tegak. Faidza ‘Azamta Fatawakkal ‘Alallah … bulatkan niat lalu berserah pada Sang Maha Kuasa.
Semoga Allah SWT selalu meridloi perjalanan di jalur baru dari perjalanan yang sama ini dan semoga semakin banyak yang menyatakan siap untuk turun tangan bagi Republik tercinta ini.
Terima kasih dan salam hangat,
Anies Baswedan
Jakarta 4 September 2013
            Komitmen itu dimulai dengan kata, dan mewujudkannya dengan menjalankan kata tersebut adalah tantangan seorang pemimpin, “finally we need the leader who walk the talk”  ketika integritas terjaga, komitmen dipenuhi , maka tiada keraguan untuk setiap anak bangsa untuk memimpin negeri ini.
           Sholawat mengalir merdu di Aula Nurkholis Madjid
            Alunan sholawat mengalir, sholatulloh, salamulloh ala yasin habibulloh, sholatulloh salamulloh ala yasin rosulillah
Beliau tampil menyampaikan kata sambutan dan membuka sidang wisuda tepat tanggla 13 April 2012, wisuda dengan tanggal yang sama saat saya berhasil meraih doble degree sebagai Sarjana Ekonomi dan Sarjana Pendidikan. Saya pun mendengar nama saya dan kedua orangtua saya disebut, dihadapan saya seorang rektor tersenyum didampingi dekan S2 Universitas Paramadina, Saya meyalam beliau dengan takzim sesaat meletakkan tali topi toga saya kekiri, rasanya bahagia sekali.
            Selepas acara wisuda beliau membaur dengan keluarga wisudawan S2 termasuk saya, dan kata pertama yang saya dengar adalah “ congratulation, finally you got itm So what next”?
Saya tahu betul  dari membaca biografinya, beliau pernah menjadi tim riset otonomi daerah dan saya sempat berdikusi saat kuliah dulu.
“ selanjutnya di senayan pak, mengkaji otonomi daerah kita” jawab saya
“ semangat dan sukses selalu” katamya dengan optimis dan senyum yang karismatik
Dan jpret, saya adalah wisudawan yang beruntung meski tak meraih nilai cum laude namun Ibu, adik dan beserta paman saya mengabadikan momen bersama beliau di altar, kelak akan jadi foto sejarahm apakah beliau akan menjadi leader di negeri ini?
Namun satu yang tersirat di hati. Inilah ungkapan hati saya untuk sang guru bangsa, semoga kita selalu berdampingan merawat Indonesia.
Inilah suratku untukmu Pak Rektorku dan semoga kelak jadi mentorku..
  Pak Anies, sebagai mahasiswa yang pernah engkau didik,  saya sangat simpati dan mengapresiasi langkah perjuanganmu, menggags ide, mengimplementasikan dan mengajak dengan tindakan adalah bagian dari ketauladanan, dan seorang pemimpin sejatinyaterpilih karena keteladanan yang dia berikan, danmendengar banyak suara yang tidak disuarakan, karena yang ada adalah kepekaan memandang kehidupan anak bangsa untuk mencapai kesejahteraan, keadilan dan masyarakat yang berdab dan mandiri.
Melunasi janji adalah bagian dari gentlemennya seorang pemimpin, saya belum pernah mendengar pernyataan tersebut, kecuali dari Bapak, semoga janji terbayar, dan kelak saya akan hadiahkan buku sederhana yang saya tuliskan salam kumpulan narasi dan puisi dan berikan untuk Bapak berjudul “ lelaki yang menenun Janji, saya akan terus belajar mengikuti jejak bapak, semoga tetap arif dan bijaksana dalam langkah
 Dan saya yakin dan percaya seorang leader adalah seorang influencer, seorang leader tidak akan menciptakan follower tapi seorang leader akan menciptakan leader, dan begitu banyak calon leader masa depan Indonesia di berbagai bidang yang telah engkau motivasi, inspirasi dan didik, welcome and congrat my leader ! Menjadi RI 1 di negeri ini atau bukan engkau telah menjadi bagian inspirasi anak negeri, dan sejarah akan mengenang semua kontribusi pemikiran yang engkau berikan dan kelak saya akan berkata pada anak cucu saya, Here he is Mr, Anies Baswedan, leader of the top leader”.